Ibuku adalah seorang kondektur metromini sedangkan supirnya adalah Pak Ndut, seseorang yang sudah seperti ayah sendiri. Karena berbagai alasan, aku pernah menggantikan Ibu bekerja. Lama mengenal jalanan, aku pun mengenal beberapa wajah penjahat dan copet.
Saat itu aku kelas 1 SMP. Aku menjadi kondektur untuk sementara menggantikan Ibu. Dari terminal Pulogadung, metromini kami berisi penumpang yang lumayan banyak. Penumpang yang berdiri sampai menyulitkanku untuk bergerak dan meminta ongkos.
Saat sedang meminta ongkos di kursi tengah, aku melihat seorang copet sedang beraksi. Dia menggunakan ransel hitamnya untuk menutupi sementara tangannya hendak mengambil ponsel di saku belakang salah satu penumpang. Tak mau penumpangku mendapat musibah, aku segera mendorong laki-laki itu.
Dia melotot menatapku. "Apa?" tanyanya.
"Ongkos." Aku mengadahkan telapak tanganku.
Dengan wajah jengkel dia membayar ongkos dan pindah ke belakang. Aku menjadi tidak tenang dan sering memperhatikannya. Rupanya copet itu tidak sendirian. Ia bersama seorang temannya. Kali ini sang teman menutupi si copet dan setiap supir metromini menginjak rem, copet itu mendorong salah satu penumpang dengan sengaja. Itu pasti agar penumpang tidak sadar si copet sedang berusaha mengambil dompetnya.
Dengan dalih yang sama, setiap supir menginjak rem aku mendorong si copet. Sampai si copet tidak bisa lagi menahan marahnya. "Heh!" hardiknya dengan marah. Ekspresinya terlihat sangat menyeramkan. Aku tahu betul orang ini membawa senjata tajam di tasnya.
Jantungku berdebar tapi aku berusaha tetap tenang. "Jangan menghalangi jalan," ucapku "Bapak mau turun di mana?"
"Mau turun di mana kek, suka-suka gua!" Wajah si copet sangat marah. Jelas sekali dia tau aku berusaha menggagalkannya. Tapi nada tingginya saat bicara membuat para penumpang menoleh dan melihat pada si copet.
"Kalau belum mau turun, jangan berdiri di dekat pintu." Aku berusaha menghapus rasa takut dan menantangnya.
Kesal dan tidak mau mencari masalah, entah karena penumpang yang memperhatikannya atau karena tidak mau memukul anak kecil, dia pun turun di Pupar, Cakung. Temannya turun setelah pemberhentian berikutnya. Setelah yakin tidak ada copet lagi di atas metrominiku, aku pun segera memperingati penumpang.
"Bapak-Ibu jaga barang berharganya. Simpan dompet dan handphone dengan benar. Yang tadi itu copet, jangan sampai barang berharga kalian dicuri." Aku berucap dengan gagah berani dan Pak Ndut melihatku dari spion. Aku merasa bangga sudah berhasil menggagalkan copet itu. Penumpang mulai kasak-kusuk dan aku tenang momen menegangkan tadi sudah terlewati.
Metromini ini sampai di Bulog, seperti biasa metromini akan ngetem cukup lama, menunggu karyawan Bulog pulang kerja. Pak Ndut keluar dari kursinya dan pindah ke kursi tengah. Aku menunggu pujian keluar dari mulutnya.
"Lain kali jangan begitu lagi, ya." Ujar Pak Ndut.
"Kenapa, Pak? Bukannya bagus menggagalkan copet?" Aku cemberut.
Pak Ndut menggeleng. "Bagus, sih. Tapi saya yang jantungan."
"Tiyas berani kok, Pak," ujarku yakin.
"Aduh, kamu itu tidak mengerti. Kamu teriak bilang ke penumpang ada copet padahal di atas mobil masih ada lima orang copet, bagaimana saya nggak jantungan?!"
Saat itu aku baru sadar, aku benar-benar sudah menantang maut tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...