Seorang ibu-ibu yang duduk di kursi sebelah menawarkan tisu dan sebotol air mineral yang masih bersegel untuk Mama. Dia bertanya padaku, "Ibunya kenapa, dek?"
"Diusir," jawab mulut kecilku tanpa ragu.
Mama menerima pemberian itu dan mengucapkan terima kasih. Tak ada obrolan dalam perjalanan panjang itu. Hanya beberapa penumpang lain sesekali melirik dengan tatap kasihan dan penasaran. Mungkin penasaran dengan penyebab seorang wanita paruh baya menangis di dalam bis Cirebon menuju Jakarta sambil memangku anaknya yang masih kecil.
Sepanjang perjalanan itu, Mama lebih banyak diam dan memandang keluar jendela. Sesekali, Mama memainkan rambutku yang dikuncir dua. Beberapa saat, Mama bisa tertidur walau air mata masih membekas di pipinya. Dari sinilah aku akan memulai kisahku. Kisah hidup pertama yang paling jelas dalam ingatanku.
Sejujurnya, kehidupan masa kecilku di Cirebon begitu menyenangkan. Aku dan Mama tinggal di sebuah rumah yang cukup bagus. Sebagai asisten rumah tangga yang tinggal di sana, Mama menjalani keseharian dengan nyaman. Karena majikan masih ada hubungan darah dengan Mama, hubungan di antara mereka pun terlihat baik. Majikan yang terdiri dari sepasang suami istri dengan anaknya, benar-benar orang yang baik. Bahkan, aku merasa satpam yang menjaga komplek pun orang yang baik.
Aku disekolahkan di sebuah taman kanak-kanak bernama TK Bunga Bangsa. Guru-guru di sana ramah. Teman-temanku menyenangkan walau kami sering bertengkar. Aku pun bisa menguasai semua yang diajarkan Bu Guru dengan cepat hingga mudah naik kelas dari TK A ke TK B. Jalan menuju ke TK Bunga Bangsa dibatasi oleh sebuah jalan raya, tapi aku bahkan bisa pulang pergi sekolah sendiri tanpa harus ditemani. Saat lulus, aku mendapat nilai dengan angka yang cantik-cantik menurut Mama. Walaupun aku tidak mengerti mengapa Mama mengerutkan dahi saat membaca catatan di rapor yang bertuliskan, "Sebenarnya Tiyas adalah anak yang cerdas, tapi perlu diperhatikan tentang emosinya yang suka meledak-ledak."
Lulus TK, aku langsung didaftarkan ke sebuah sekolah dasar. Baru masuk sekolah dasar, aku sudah bisa membaca dan sudah memiliki majalah kesayangan. Majalah Bobo. Bobo, Paman, Husein dan Asta, Oki Nirmala, Bona Si Belalai Panjang, juga rubrik cerpen selalu menjadi pengisi waktu luangku.
Majikanku memiliki seorang anak laki-laki yang saat itu berumur sekitar 20 tahunan. Aku lupa siapa namanya. Di ulang tahunku yang keenam tahun, dia memberiku sebuah boneka beruang cokelat yang memakai topi baret berwarna merah. Aku memberi boneka itu nama, Teddy. Boneka itu bagaikan melengkapi kebahagiaanku selama tinggal di Cirebon. Hingga, pertengkaran antara Mama dan majikan pun terjadi.
Mama bilang, majikan perempuan salah paham mengira Mama menggoda suaminya. Aku tidak mengerti apa maksudnya tapi jelas sekali salah paham itu sangat fatal. Sangat fatal hingga kami terusir dari rumah itu. Sangat fatal hingga membuat Mama menangis tersedu-sedu seperti itu.
_Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...