Pengamen Cilik (2)

55 3 0
                                    

Ya, Mama mengizinkanku mengamen. Botol yakult berisi beras itu, Mamalah yang pertama kali membuatkan untukku. Hari itu, tangan Mama yang menggandengku lebih berkeringat dari biasanya. Jelas sekali kegelisahan terpancar di wajahnya. Tidak bisa melepasku begitu saja, Mama memutuskan untuk menemaniku.

Usiaku belum genap sembilan tahun saat itu. Kali pertama aku bernyanyi di atas metromini, aku menyanyikan lagu anak-anak. Aku ingat sekali, lagu yang kunyanyikan saat itu adalah lagu anak berjudul Tik Tik Tik Bunyi Hujan dan Kasih Ibu. Sungguh lagu yang cukup aneh untuk dibawakan mengamen, jika dibandingkan lagu-lagu yang dibawakan pengamen cilik lain. Mau bagaimana lagi? Mama bersikeras, harusnya anak-anak tidak menyanyikan lagu-lagu orang dewasa.

Sebelum bernyanyi, Mama memberikan pembukaan. "Permisi Bapak Ibu, kami numpang mengamen. Semoga terhibur." Begitulah kira-kira yang Mama ucapkan.

Saat aku bernyanyi, Mama hanya diam. Mama tidak bisa bernyanyi, aku tahu. Tidak masalah, bukan? Aku pandai bernyanyi, dan sejak awal akulah yang berniat mengamen. Bukan Mama. Namun, sepertinya berdiri diam di belakangku saja sudah sangat berat untuk Mama. Wajahnya sangat merah, dan semua pandangan penumpang tertuju pada Mama.

Hanya dua kali. Satu metromini berangkat dan satu metromini arah pulang. Mama menyerah.

"Mama nggak bisa, Dek," ujarnya memelas.

Walau hatiku penuh kekecewaan, kami pun menghentikan aksi ngamen hari itu karena tak tega dengan Mama. Padahal, aku sudah sangat antusias ingin menghasilkan uang untuk Mama.

Kami mencoba lagi esok harinya. Juga esok berikutnya. Lalu, sampai pada hari saat Mama memilih benar-benar berhenti. Mama lebih suka menjual koran, walau pun hasilnya tidak seberapa. Bagi Mama, menjual koran lebih ringan dibanding harus menahan malu saat mengamen.

"Jangan ngamen-ngamen lagi, ya, Dek," perintah Mama.

"Tiyas bisa, kok, Ma, sendirian," bujukku.

Mama menggeleng. Dengan tegas dia berkata, "Nggak usah."

Pada akhirnya, aku kucing-kucingan dengan Mama. Saat Mama bekerja, aku mengamen sendirian. Ternyata, dugaanku benar. Mengamen itu tidak sulit sama sekali. Justru menyenangkan. Apalagi, saat aku menghitung pundi-pundi uang hasil kerjaku. Lagu-lagu yang kunyanyikan semakin beragam. Lagu dari band-band yang terkenal saat itu, tentu. Memang, siapa yang mau mendengarkan lagu anak-anak?

Aku semakin berjaya saat Pak Endut mengajak Mama jadi kondekturnya. Jam kerja Mama yang panjang, membuatku bisa mengamen dengan lebih leluasa. Aku hafal metromini yang dibawa Pak Endut. Jika aku melihatnya dari kejauhan, aku akan segera bersembunyi. Hingga, aku ketahuan.

Kurasa, kelakuanku sudah ketahuan secara bertahap. Naluri ibu, begitu kata Mama. Mama sudah sering melihatku di jalan. Walaupun berusaha berpikir mungkin hanya mirip. Namun, aku yang juga sering menemani Mama bekerja, dikenali oleh teman-teman sesama supir dan kondektur. Bahkan, aku sering tidak sadar bernyanyi di dalam metromini temannya Mama. Sungguh, bodoh.

Anehnya, Mama tidak marah. Aku sudah bersiap dengan amukannya tapi ia tidak marah. Ia menasihatiku bahwa jalanan itu berbahaya, tapi kutegaskan sekali lagi bahwa aku tidak dimarahi. Jadi, aku pun terus mengamen.

Semakin lama, aku merasa bosan dengan jalur yang itu-itu saja. Perlahan, aku mulai menjelajahi tempat baru. Dari hanya Plumpang - Semper, aku mulai ke Permai. Berikutnya, ke Terminal Tanjung Priok. Dari Terminal Tanjung Priok, aku mencoba mengamen di Metromini 42 dan menjelajahi Terminal Senen.

Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, mengamen di Slipi hingga akhirnya aku cukup nyaman di Blok M Jakarta Selatan. Di wilayah itu, cukup beragam jalur yang bisa kukuasai dan mudah membawaku kembali ke Terminal Blok M. Variasi jalur yang tidak mudah membuatku bosan. Tidak seperti Jakarta Utara yang jalan utamanya cenderung lurus-lurus saja.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang