Jika ku katakan Ibuku sudah menjalani beragam pekerjaan maka aku sudah menjelajahi hampir seluruh jalanan di Ibu Kota. Kau pikir, selama Ibuku bekerja maka aku hanya bermain-main? Tentu saja aku bermain-main. Tapi permainanku lebih seru dibanding mainan kebanyakan anak seumuranku. Aku menjadi seorang pengamen bis kota.
Semua itu bermula saat usiaku belum genap sepuluh tahun. Ibuku menjual koran di metromini. Dia membawa beberapa lembar koran di tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggandengku. Setiap ada metromini yang menunggu penumpang, Ibuku memanfaatkannya dengan menjajakan koran pada penumpang di dalamnya. Aku? Aku hanya mengikuti kemana pun Ibuku pergi.
Selama mengikuti Ibu berjualan koran, berkali-kali aku melihat anak-anak bernyanyi dengan memukul-mukul sebuah benda yang berbunyi berisik. Benda itu terbuat dari gagang kayu berukuran kecil, dan di atasnya tertancap paku berisi tutup botol minuman. Anak-anak itu menyebutnya 'kecrekan'.
Permainan mereka mudah. Mereka hanya perlu bernyanyi di dalam metromini, lalu penumpang akan memberi mereka uang. Penumpang yang memberi uang karena nyanyian itu lebih banyak dari pada penumpang yang menukar uang dengan koran Ibu. Aku melihat adanya peluang.
Ku katakan pada Ibu, "Ma, Tiyas ngamen aja, ya?"
"Masa kamu mau jadi pengamen? Bahaya nanti kalau jatuh dari mobil bagaimana?" Kata Ibuku saat itu. Tapi jelas jawaban Ibu bukan larangan.
Ibu tau jika aku mengamen maka penghasilan yang di dapat akan lebih besar. Maka Ibu memutuskan untuk menemaniku. Ibu juga membuatkan aku sebuah alat dari bekas botol Yakult yang diisi beras. Aku tidak akan pernah melupakan betapa merah wajah Ibu saat kami berdua berdiri di depan para penumpang dan aku menyanyikan lagu anak-anak 'Lihat Kebunku'. Ibuku hanya sanggup menemani beberapa kali, lalu ia melepasku mandiri di jalanan.
Tanpa pengawasan Ibu, aku sangat menyukai kehidupanku sebagai pengamen. Terutama sejak Ibu akhirnya menjadi kondektur metromini karena tawaran temannya. Aku bebas kemana pun yang kuinginkan dan membawa uang saat pulang.
Masih ingat pada kata-kata Ibu? Dia berkata, "Sesusah apapun kita, jangan sampai jadi pengemis."
Aku tidak setuju jika ada yang mengatakan pengamen sama dengan pengemis. Pengamen sama dengan pedagang. Kami menjual suara dengan bayaran seikhlasnya. Jika di awal aku menyanyikan lagu anak-anak, berikutnya aku mulai menghapal lagu-lagu dari grup musik yang terkenal saat itu dan memperluas pasarku.
Ibuku marah saat tau aku mengamen jauh dari tempat tinggalku tapi aku tidak bisa dihentikan. Dengan membaca lokasi tujuan dari metromini yang ku tumpangi, aku berkelana dari satu terminal ke terminal lain. Terminal Blok M adalah salah satu terminal favoritku. Di bawah terminal itu ada Mall bawah tanah yang sangat besar. Di sana aku biasa mampir dan mengunjungi toko buku atau toko yang bernama Serba Lima Ribu. Kadang aku membeli satu barang murah di sana.
Pengalamanku menjadi seorang pengamen tidak selalu mengasyikkan. Kepalaku pernah ditendang di sebuah tangga terminal Blok M oleh seorang pengamen ibu-ibu. Aku tidak paham mengapa wanita itu melakukannya, tapi aku bersyukur tidak tersungkur dan jatuh dari tangga yang cukup tinggi. Aku juga sering dimusuhi oleh pengamen lokal saat singgah di suatu tempat. Kalau itu aku mengerti alasannya, mereka takut aku mengambil rejeki mereka. Tapi percayalah, orang jahat di jalanan tidak sebanyak yang ditayangkan oleh sinetron. Asal kau menyapa mereka dengan sopan, mereka juga akan sopan padamu.
Aku cukup betah menjadi pengamen. Sejak Sekolah Dasar hingga sebelum lulus Sekolah Menengah Atas. Sewaktu SMP aku bertemu seorang pengamen pria yang usianya belasan tahun di atasku. Namanya Bang Handoko. Karena kecocokan, kami memutuskan untuk mengamen bersama. Aku menyanyi dan dia memainkan gitar. Cukup lama berduet dan mengelilingi Jakarta, kami singgah di sebuah terminal bayangan depan gedung Gudang Garam. Di sanalah aku menemukan hal baru.
Jika sebelumnya aku mengamen di atas bis yang berjalan, di Gudang Garam aku bernyanyi di atas bis kota yang menunggu penumpang. Bis jurusan Bogor dan Leuwiliang adalah bis yang cukup lama berdiam di tempat itu. Saat bis itu datang aku dan Bang Handoko menghibur penumpang dengan nyanyian. Kami akan turun saat bis itu akan berangkat. Bang Handoko tidak selalu menjadi rekan mengamenku. Di sini ada Ayah Hais, Bang Surat, Bang Gaplek, dan masih banyak lagi pengamen lokal yang berebut mengiringiku bernyanyi. Bukan sombong, mereka menyebutku ladang uang karena kemampuan bernyanyiku yang baik.
Orang-orang di tempat ini bukanlah orang yang suci. Mereka penjudi, pemabuk, dan beberapa dari mereka sudah pernah di penjara. Mereka menggunakan obat terlarang dan tubuh mereka bertato. Apakah kau khawatir padaku? Seorang wanita yang saat itu berumur belasan duduk di tengah mereka? Jangan khawatir, mereka kasar dan suara mereka serak tapi mereka akan lembut saat bicara denganku.
Jika aku datang bukan di hari Minggu, mereka akan bertanya, "Dek, kenapa ga sekolah? Nanti ga naik kelas kamu."
Mereka bahkan menasihatiku untuk tidak merokok padahal banyak pengamen wanita di jalanan yang merokok. "Biar abang-abang ini saja yang rusak. Kamu jangan ikut-ikutan." Begitu kata mereka.
Aku hanya memiliki Ibu dalam hidupku. Dan menjadi pengamen membuatku memiliki keluarga lain, mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Fiksi UmumHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...