Day 18 : Banjir 2007

50 4 0
                                    

Beberapa hari itu, hujan deras mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Jakarta yang merupakan daratan terendah, juga mendapat kiriman air berlebih dari Bogor. Sungai-sungai meluap, aku juga melihat berita tanggul jebol.

Dua hari aku dan Ibu terjebak di Pool Metromini Brekarona. Garasi tempat metromini Ibu dipulangkan. Di sana, banyak metromini dengan berbagai trayek. Kami tidur di dalam metromini dengan menggelar kardus. Pool Brekarona terletak di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Daratan di sini seperti perbukitan. Beberapa daerah tinggi namun jika berjalan beberapa meter lagi, daratannya sangat rendah. Syukurlah, Pool Brekarona terletak di tempat yang tinggi, hingga kami bisa beristirahat dengan tenang.

Hari itu, aku cukup senang. Aku diizinkan bermain air banjir. Berjalan sedikit, kami tiba di daratan rendah yang tenggelam. Ini adalah jembatan di Jl. Jend. Basuki Rahmat namun akses jalan tertutup oleh air yang sangat cokelat. Jalanan ini jadi terlihat sepeti danau. Beberapa anak kecil membuka baju dan bermain di sana. Aku pun segera ikut membuka baju dan menitipkan baju itu pada Ibu.

"Jangan jauh-jauh, di sana airnya dalam," ujar Ibu mengingatkan.

Aku melihat arah yang ditunjuk Ibu. Ada empat orang dewasa yang mendorong sebuah rakit. Ada sebuah motor di atas rakit itu. Sepertinya bapak-bapak itu memanfaatkan banjir ini dengan membuka jasa penyebrangan. Memang, motor itu tidak akan bisa sampai di ujung tanpa rakit. Lihat saja air menenggelamkan bapak-bapak itu sampai ke dagu mereka.

Perhatianku teralihkan saat melihat atap pom bensin di sebelah kiri. Aku baru ingat, di situ memang ada pom bensin. Aku keluar dari air dan bertanya pada Ibu. "Ma, pom bensinnya tenggelam. Bensinnya bagaimana?"

Ibuku menggeleng dan menjawab, "Mama juga ngga tahu, dek." Wajahnya menunjukkan rasa prihatin.

Bahagiaku hilang berganti dengan rasa sedih saat mulai memahami bahwa banjir ini tidak seperti banjir yang biasanya datang. Kali ini lebih parah, lebih terlihat seperti musibah dibanding biasanya. Dari atas jembatan, aku melihat ke bawah. Tinggi air hampir menutupi atap rumah warga. Tidak ada pintu dan jendela yang terlihat, hanya atapnya.

"Orang-orang yang tinggal di sana kemana?" Aku mulai merasa sesak membayangkan seseorang terjebak di dalamnya.

Ibu menunjuk dataran yang lebih tinggi. Aku melihat ada tenda yang cukup besar. "Mereka ngungsi di situ."

"Kasihan ya, Ma."

Ibuku mengangguk. "Besok kita tengok rumah kita, ya."

"Iya, Ma."

Aku tidur nyenyak malam itu, walau hujan kembali turun dengan deras. Sekali sempat terbangun karena suara ranting pohon mangga menimpa atap metromini namun aku masih mudah untuk melanjutkan tidurku.

Pagi hari, aku bersiap untuk pulang. Dari garasi, kami menumpang salah satu unit Brekarona yang memaksakan diri bekerja walau di berita sudah ada info bahwa banyak akses jalan tidak bisa digunakan. Metromini itu menuju Terminal Senen. Tidak ada halangan berarti saat menuju ke sana. Hanya saja aturan lalu lintas tidak lagi berlaku. Demi menghindari banjir, metromini yang kami tumpangi harus melawan arah dan berhati-hati karena batas jalan dan parit tidak terlihat.

Di Terminal Senen, tidak ada satu pun metromini 07 Terminal Senen - Semper yang mau beroperasi. Menurut para supir, jalur ke Jakarta Utara sangat lumpuh, terutama Jl. Yos Sudarso. Mondar-mandir cukup lama di terminal, akhirnya kami mendengar teriakan dari seorang kondektur metromini.

"Priok! Priok! Yok yang mau ke Priok! Hanya satu-satunya, silahkan naik. Priok! Priok!" teriak sang kondektur.

Terminal Priok satu arah dengan tujuan kami. Kami segera bergegas menghampiri dan melihat metromini itu bukan trayek Priok. Itu metromini 17 trayek Terminal Senen - Manggarai.

"Ini ke Priok, Bang?" Ibu bertanya memastikan kembali.

"Iya. Iya. Ke Priok," jawab sang kondektur.

Kami segera naik. Metromini ini sudah penuh, tidak ada lagi tempat duduk dan sebentar saja metromini ini sudah sangat penuh sampai si kondektur harus bergelantungan di pintu dengan satu kaki. Aku terjepit di antara penumpang namun bersabar karena ingin segera pulang. Sang kondektur menagih ongkos dan Ibu menyiapkan uang 3000 rupiah.

"Lima ribu. Lima ribu," kata si kondektur pada seorang penumpang

"Kok, lima ribu, Bang?" seorang penumpang bertanya.

Sang kondektur nunjukkan wajah jengkel dan menjawab, "Kalau ngga mau, turun aja." Melihat itu, Ibu pun merubah nominal uang di tangannya.

Sulit sekali untuk mencari akses jalan. Beberapa kali metromini ini harus berputar arah dan mengganti jalur. Memasuki Jl. Yos Sudarso, semua kendaraan menggunakan jalan Tol. Termasuk motor dan bajaj. Selama mobil melaju, dari atas aku melihat rumah-rumah terendam banjir. Tidak hanya rumah, fasilitas publik seperti sekolah, masjid, dan rumah sakit juga terendam banjir. Daerah Kelapa Gading mendapat banjir yang sangat parah.

Di Plumpang, kami diturunkan di tengah jalan tol. Bersama beberapa orang pria muda, kami menyebrangi banjir melawan arus yang cukup kuat. Aku sempat terlepas dari pegangan Ibu namun seorang pria muda membantuku. Singkatnya, kami pun tiba di rumah.

Saat itu, rumahku adalah sepetak kontrakan yang ada di lantai 2. Begitu naik, aku dan Ibu sangat terkejut saat melihat semua barang-barangku ada di luar. Diletakkan begitu saja di atap rumah tetangga yang rendah. Sepatu sekolahku, buku-buku, semuanya basah kuyup. Lemari kecil Ibu ditutupi dengan tikar plastik sementara pintu kontrakan digembok dengan gembok yang bukan milik kami. Tidak butuh penjelasan untuk mengerti bahwa kami diusir. Terakhir kali, Ibu memang belum membayar kontrakannya. Aku melihat Ibu menghapus air matanya dan menuntunku keluar. Membiarkan barang-barang itu tetap di sana, kami mencari pengungsian. Pada akhirnya, kami mengungsi di sekolah dasar tempatku menuntut ilmu. Pengalaman itu terukir jelas dalam ingatanku bahkan setiap detilnya.

Setelah beberapa tahun kemudian, aku tahu banjir 2007 memang membekas di hati banyak orang. Banyak yang kehilangan rumah, barang berharga, bahkan kehilangan anggota keluarganya. Setelah kejadian ini pemerintah daerah semakin giat untuk mengerjakan proyek Kanal Banjir. Saat ini, rumah-rumah yang ku lihat di Cipinang, sudah tergusur seluruhnya berganti dengan sungai yang sangat besar bernama Banjir Kanal Timur. Aku berdoa dalam hati, semoga semua korban banjir saat itu sudah bisa mengobati luka hati mereka dan pemilik yang harus rela rumahnya digusur demi kebaikan orang banyak telah mendapat kompensasi yang layak.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang