Aku lupa apa penyebab kami bertengkar hari itu, tapi aku ingat kata-kata Mama yang membuatku murka saat itu. "Lu tuh anjing! Sama kayak Bapak lu!"
Aku rasa, sudah cukup. Oke, aku mungkin terlalu 'anjing' untuk bisa terus bersama Mama. Kata-kata Mama benar-benar tidak bisa kuterima. Hanya dengan pakaian di badan, aku meninggalkan Mama. Bukan pergi sebentar untuk menenangkan diri, aku berniat untuk tidak kembali lagi.
Setelah kunjungan Bapak yang pertama, aku mulai mengenal kakak-kakakku yang satu bapak beda ibu. Seorang abang beda ibu yang tempat tinggalnya tidak jauh dariku. Aku pun ke sana, mengadu, dan meminta perlindungan. Aku yang sangat bodoh berkata, "Tiyas mau tinggal sama Bapak aja. Enggak mau sama Mama."
Setelah Abang menelpon Bapak, kau tau apa jawaban Bapak? "Maaf ya, Bapak tak bise bawa kamu ke sini. Ibu tirimu tak suke. Nanti dia sedih dan Bapak dimarahinya."
Aku tertawa dalam hati dan mulai memutuskan untuk membuang kedua orang tuaku. Aku tidak butuh keluarga. Aku sudah terbiasa sendirian. Walaupun masih remaja kelas 2 SMP, aku sudah bisa mencari uang sendiri. Untuk apa memiliki keluarga kalau keluarga itu sendiri tidak terasa seperti keluarga?
Aku menginap di rumah seorang temanku Ega, mengamen dengan giat dari pagi hingga sore hari, dan malam harinya nongkrong dengan teman-teman. Tidak terasa, sudah tujuh hari aku tidak pulang sama sekali. Hingga ketujuh itu, aku sudah mendapat uang 80 ribu rupiah, sisa dari uang makan dan jajanku selama tujuh hari itu.
Menemukan sebuah kontrakan kosong yang cukup baik untukku sendiri, aku berniat untuk tinggal di sana. Kontrakan yang sangat kecil itu hanya seharga 150 ribu rupiah. Pemilik kontrakan itu pun bersedia dibayar 80 ribu rupiah di muka.
Setelah memberikan uang muka, aku berdebat dengan diri sendiri. Aku tidak mau selamanya memiliki hubungan yang seburuk ini dengan Mama. Aku memutuskan untuk pulang dan pamit baik-baik pada Ibu. Aku pikir, ini yang terbaik untuk kami.
Saat aku datang, Ibu sedang mengisi teka teki silang tapi wajahnya terlihat sayu dan sangat kurus. Jelas sekali ia tidak makan. Aku mulai merasa bersalah tapi membulatkan tekad. Aku menjelaskan keinginanku untuk tinggal sendiri.
"Ini yang terbaik untuk kita, Ma," kataku saat itu.
"Enggak boleh. Kamu tinggal sama Mama aja, ya. Jangan tinggalin Mama." Ibuku tidak menangis, tapi ia justru terlihat lebih menyedihkan saat itu.
Aku menyesal sudah pulang. Raut wajah Mama jelas tidak menunjukkan penyesalan. Mama hanya merasa kehilanganku tanpa menyadari apa yang membuatku ingin menghilang darinya.
Aku berniat pergi lagi, tapi Mama memelukku dari belakang. Erat sekali. Ia bahkan mengunci kontrakan agar aku tidak bisa keluar. Aku berulang kali mengatakan bahwa aku sudah memberi uang muka untuk kontrakanku. Mama terlihat semakin ketakutan. Berikutnya, Mama meminta tolong Pakde Tohir untuk menasihatiku.
Mudah untuk menebak bahwa aku kalah tapi hubungan kami menjadi lebih baik sejak saat itu. Mama lebih bisa mengatur emosinya walau kami masih bertengkar sedikit-sedikit. Perlahan, aku juga menjadi lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...