Sudah dua bulan Tania tidak memberi kabar apapun. Aku menelusuri seluruh akun media sosialnya tetapi teman masa SMA-ku itu menghilang bak ditelan bumi. Jika saja rumah mereka tidak dipisahkan oleh lautan, aku akan berkunjung dan mencari tahu keadaannya. Sekarang, wanita ini tiba-tiba menghubungiku melalui panggilan telepon sambil menangis.
"Kenapa ini terus terjadi?" tanya Tania dalam tangis yang terasa mengoyak hatiku. "Belum tenang setelah satu masalah selesai, masalah yang lain datang. Terus bertubi-tubi, Rom." Aku ingin memaki diri karena tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mendengarkan.
Wanita bertubuh kecil itu adalah teman masa SMA-ku. Setelah kelulusan, aku baru dekat lagi dengannya setahun belakangan. Sebelumnya, aku disibukkan oleh kehidupan pribadi dan pekerjaan hingga tidak tahu bagaimana kabar wanita ini. Kupikir, Ia baik-baik saja seperti tawa yang selama ini ia tunjukkan di masa Sekolah Menengah Atas.
"Kau hebat, Tania. Kau sudah melewati semua ini dengan baik," ujarku.
"Aku justru berpikir sebaliknya. Aku tidak kuat. Jika ini terus terjadi, kenapa aku tidak juga menjadi kuat? Di saat aku berpikir sudah cukup tegar, yang datang kemudian justru semakin menekanku ke bawah. Romi, aku lelah," ucap Tania dalam sela tangisnya.
"Ya, kau pasti sangat lelah. Aku bisa memahami itu."
"Kelahiranku sendiri adalah sebuah kesalahan. Aku merasa tidak ada gunanya aku hidup, Rom," Tangis Tania berhenti namun suara hampa itu terasa lebih menyakitkan.
"Jangan bilang begitu," tegurku
"Faktanya memang begitu, Rom." sergah Tania. "Kau tidak bisa menyangkalnya. Lihat saja Ayahku yang meninggalkanku sejak aku masih dalam kandungan. Semesta tidak pernah menginginkan keberadaanku."
Rasanya sesak mendengar Tania berkata seperti itu. "Tentu saja aku bisa menyangkalmu. Aku mengenalmu, Tania," aku menjawab perlahan "Sebagai teman, kau adalah seseorang yang berharga. Kau lupa? Kaulah orang yang membuatku bersemangat di sekolah. Tanpamu, aku mungkin tidak akan bisa berbaur. Kau selalu membantuku saat kesulitan bersosialisasi karena aku yang penyendiri. Mungkin itu hal sepele untukmu, tapi bagiku kau adalah penyelamat."
"Itu bukan hal besar, siapapun bisa melakukannya."
"Ya, tapi kaulah satu-satunya yang melakukannya saat itu." Aku tersenyum karena Tania hanya terdiam. Kuharap apa yang kumaksud bisa dimengerti oleh Tania. "Kau berharga, Tania. Bagiku, juga bagi ibumu. Juga bagi orang-orang yang pernah kau bantu sebelumnya. Jangan terpaku pada orang yang sudah menyakitimu, pada keterpurukanmu, atau pada setiap masalah yang kau rasakan. Bisakah kau fokus melihat kami, orang yang menyayangimu? Bisakah kau fokus menghargai usahamu untuk bangkit selama ini? Bisakah kau fokus pada berapa kali kau berhasil mengatasi masalah itu?"
Tania terdiam sejenak kemudian menjawab, "Kurasa, aku bisa."
"Bagus. Itu baru Tania yang ku kenal."
"Terima kasih, Romi." Suara Tania terdengar lebih baik saat ini. "Kau memang teman yang bisa diandalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Fiksi UmumHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...