Jadi, Ini Wajah Bapakku

18 4 0
                                    

Skenario takdir memang sangat rapi. Fakta demi fakta mengalir runut seperti memaklumi bahwa otak anak kecil sepertiku hanya bisa mengolah informasi secara bertahap. Aku tidak bisa terkejut lagi. Walaupun, aku tidak tahu apakah fakta-fakta itu bisa diterima dengan baik atau aku yang mati rasa sejak kecil.

Tidak lama setelah aku mengetahui bahwa aku masih memiliki bapak, Mama memberitahuku bahwa seorang supir angkot adalah abangku lain ibu namanya Bang Dedi. Mama juga menjelaskan, kalau aku memiliki banyak kakak lain ibu.

Sekitar kelas 5 SD, seorang wanita dan seorang pria mengunjungi kontrakanku. Seperti biasa, karena Mama sedang bekerja hanya aku yang bisa menyambut mereka. Keterbatasan bahan di kontrakanku membuatku hanya bisa menyuguhkan air putih.

Mereka berdua awalnya bertanya-tanya tentang aku. Juga tentang Mama. Seperti bagaimana sekolahku dan bagaimana pekerjaan Mama. Bagaikan sebuah wawancara, aku menjawabnya dengan mudah walau dalam hati bertanya-tanya.

Hingga mereka bertanya, "Kamu tahu kami ini siapa?" Aku menjawab jujur dengan gelengan kepala. Mereka berdua saling berpandangan dan yang wanita pun menjelaskan, "Saya Ani, ini Abang Indra, kami berdua adalah kakak-kakak kamu. Selain kami, masih ada beberapa kakak-kakak lain yang kamu miliki."

Sudah kubilang, aku tidak terkejut. Aku gugup, tentu. Aku bisa merasakan keringat bermunculan di antara anak-anak rambutku. Kegugupanku, membuat berbagai informasi yang mereka jelaskan menjadi tidak begitu jelas. Meskipun begitu, aku hanya mengangguk-angguk, berpura-pura mengerti.

Kelas 6 SD, aku mendapatkan sebuah amplop. Sungguh aneh karena amplop itu diantarkan oleh seseorang yang aku lupa siapa, saat aku sedang sekolah. Aku membukanya di sebuah warung di depan sekolahku dan melihat isinya. Sebuah foto berukuran sekitar 3R. Foto seorang laki-laki bersorban dengan seorang anak perempuan. Dua manusia yang sangat asing. Anak perempuan itu bukan aku, jelas.

Di balik foto itu, terdapat tulisan tangan yang menjelaskan si pemilik foto. Itu foto Bapak. Laki-laki bersorban itu adalah bapak kandungku. Abdul Muin Rahman yang memangku adikku lain ibu, Salikin. Isi yang cukup menarik perhatianku adalah tulisan "Bapak kangen Tiyas. Bapak sayang Tiyas.". Di akhir tulisan tangan itu, terdapat sebuah kota di Malaysia. Aku menyimpulkan, mereka berdua tinggal di Malaysia.

Di rumah, saat aku menunjukkan foto itu pada Mama, Mama mengejek, "Ngirim kok foto. Ngirim tuh duit!"

Di suatu pagi saat aku kelas 1 SMP, aku dibangunkan oleh laki-laki bersorban itu. Ya, akhirnya aku bertemu dengannya. Bapak kandungku. Ia memeluk dan mencium pipi kanan kiriku sementara aku masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Mama hanya diam mengamati dari ambang pintu.

Mengerti tatapan tanyaku, Mama pun menjelaskan, "Iya, itu Bapak kamu."

Bapak membawaku ke sebuah rumah di Plumpang. Rupanya, hari itu adalah hari kematian adik dari Bapak. Inilah alasan utama Bapak berkunjung. Jelas, aku bukanlah alasan utamanya. Sedikit mengherankan juga setelah aku mengetahui bahwa rumah pamanku, bahkan abang-abangku, lokasinya tidak jauh dariku. Mereka dekat selama ini. Namun, ke mana mereka selama ini? Pertanyaan itu hanya kutelan dalam hati.

Aku juga memperhatikan, bahwa Bapak ternyata adalah seorang ustad yang sangat mengerti agama. Suatu fakta lain yang mengherankan untukku. Seorang anak yang ditelantarkan selama ini.

Di sana, aku dikenalkan pada orang-orang yang memiliki hubungan darah denganku. Mama benar, aku memiliki cukup banyak kakak hingga aku tidak hapal semua nama-nama mereka bahkan setelah pulang. Hanya ada satu nama yang paling melekat dalam ingatanku. Kak Agis, yang bercerita bahwa ia sama denganku. Ia juga tidak diurus Bapak dan malah diurus oleh orang lain. Ketidaksukaannya pada Bapak tersirat sedikit walau tidak terang-terangan. Aku? Aku tidak bisa berpikir dengan baik. Aku hanya membiarkan hari itu berlalu begitu saja.

Berikutnya, aku mulai mendapatkan kiriman uang dari Bapak. Tidak rutin, tapi ada. Tidak seberapa, tapi ada. Sesuatu yang tidak ada tadinya. Namun, uang pemberian itu tidak ada artinya dibanding kami -aku dan Mama- yang lagi-lagi harus terusir karena tidak mampu membayar kontrakan.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang