Bangun, jatuh lagi. Bangkit, jatuh lagi. Hendak melangkah, tersandung lagi. Berusaha sabar, berusaha semangat, berusaha melihat sisi positifnya, tapi tetap tidak ada jaminan diri tidak akan terjerembab dan terluka lagi.
Lelah dan ingin istirahat bahkan terkadang tidak ingin bangun lagi, tapi ingat bahwa kebutuhan tidak bisa diistirahatkan. Ada orang-orang tersayang yang butuh diri tetap bergerak. Tahan, tahan, berusaha bertahan dan terus bergerak walau harus merangkak. Lutut hancur digilas tajamnya jalan yang harus dilalui.
Duh, diri terus menerus ingin mengeluh. Lelah, sungguh lelah. Namun, orang-orang menguatkan. "Jangan mengeluh, bersyukurlah," kata mereka.
Masih diberi kehidupan, masih diberi fisik yang sehat, anggota tubuh yang lengkap, ada orang yang menyayangi, tidak pantas jika mengeluh. Banyak yang harus disyukuri. Sungguh, sekarang ini, diri juga tidak ingin mengeluh.
Dulu, diri selalu mengeluh. Saat harus menjalani hidup tanpa ayah sejak masih dalam kandungan. Saat mengalami siksaan dari ibu yang emosional. Saat harus bertahan di tengah keluarga yang pecah. Saat berkali-kali terusir dan kehilangan tempat tinggal. Saat tertatih menjalani pendidikan. Dan saat berada di masa-masa yang membuat diri tidak mau mengingat sama sekali.
Sekarang, diri tidak mau mengeluh. Walau setelah perjalanan panjang itu, ketenangan belum juga terlihat. Walau setelah perjuangan itu, masih ada duri yang menghalangi jalan. Walau diri hanya bisa melihat darah di masa depan. Sungguh, diri tidak ingin mengeluh.
"Aduh," keluh diri ini.
Padahal tidak ingin mengeluh. Mengapa air mata tidak mau berhenti? Diri ini bersyukur pada semua nikmat yang ada. Tapi jatuh tetaplah sakit. Lukanya pun meninggalkan bekas. Bolehkah mengeluh saat ini saja? Keluh yang tertahan di hati terasa sesak dan membuat kesulitan bernapas.
"Aduh, malangnya diri ini. Aduh, menyakitkannya semua ini. Aduh, kejamnya dunia ini. Diri ini lelah. Luka ini sakit sekali," diri ini mengeluh panjang hingga tak terasa malam telah membangunkan mentari.
Yah, masih panjang. Dunia memang kejam. Mungkin, masih akan ada luka lain yang menanti. Tapi diri berhasil melaluinya selama ini. Jangan dulu menyerah. Belum, belum saatnya. Sesakit apapun diri saat ini, pasti tidak akan sesakit jika menyerah di tengah jalan dan ternyata jalan keluarnya sudah dekat. Walau sampai akhir hanya luka yang didapat, setidaknya diri bisa membuktikan tak ada yang bisa meruntuhkan keteguhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Ficción GeneralHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...