Mujur dan malang atau beruntung dan sial adalah istilah yang sering disebut dalam hidup. Biasanya itu disebutkan saat kau mendapat kebaikan atau masalah yang tak disangka-sangka. Pernahkah kau merasa kemalanganmu terasa bertubi hingga terasa tak masuk akal? Aku sering merasa begitu. Tapi pernahkah kau merasa keberuntunganmu terlalu sering datang hingga kau merasa ngeri sendiri? Aku juga sering merasa begitu. Di antara deretan masalah yang sering kusebut sebagai kesialan, banyak hal baik dalam hidupku yang terasa tidak masuk akal. Ini tentang sekolahku.
Tidak banyak orang dengan ekonomi seperti Ibuku yang bisa menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-kanak, entah karena sibuk bekerja dan tidak orang yang mengantar jemput atau kekurangan biaya. Aku adalah salah satu dari yang sedikit itu. Majikan tempat Ibuku bekerja dengan baik hati membantu biaya TK-ku. Aku juga punya kemampuan adaptasi yang tinggi hingga Ibuku tidak perlu rutin mengantar jemputku. Aku bisa mengandalkan petugas yang berjaga di penyeberangan dan memintanya membantuku menyeberang jalan raya.
Masuk Sekolah Dasar, Ibu hanya mengantarku di hari pertama masuk kelas di kelas 1. Aku bisa menjaga diriku sendiri karena lokasi sekolah dan kontrakan sangat dekat. Ibuku bebas bekerja tanpa perlu mengkhawatirkan aku. Kelas 1, 2, dan 3 sekolah dasar, aku cukup bersemangat sekolah. Kelas 3 aku ditunjuk menjadi ketua kelas dan pada semester 1 aku mendapat peringkat 1 di kelas. Betapa beruntungnya aku.
Memasuki kelas 4 SD aku mulai mencintai uang setelah mendapat penghasilan yang cukup dari mengamen. Padahal guru-guru menyukaiku terutama Bu Asmin Djama yang selalu membujukku untuk mendalami puisi. Aku merasa sekolah hanya membuang-buang waktu, padahal aku bisa mencari uang untuk membantu Ibu. Aku pun bolos sekolah tanpa sepengetahuan Ibu dan pada kelas 5 berujung hampir dikeluarkan karena tidak hadir tanpa keterangan sebanyak 30 hari.
Wali kelasku saat itu berkata, menurut ketentuan sekolah, aku harus dikeluarkan. Namun karena prestasiku dan tangisan memohon Ibu, para guru sepakat untuk tidak mengeluarkan aku dan menulis ketidakhadiranku di rapor hanya sebanyak 29 hari. Betapa beruntungnya aku. Sebagai bukti penyesalan, aku mewakili sekolah mengikuti lomba baca puisi dan berujung membawa trophy juara 1.
Kelas 6, aku kembali malas-malasan sekolah walau absenku tidak sebanyak tahun sebelumnya. Pada saat ini, sekolah hanya pasrah dan berkata bahwa aku tidak akan bisa lanjut ke jenjang berikutnya. Namun siapa sangka keberuntungan menghampiriku.
Aku diterima di Sekolah Menengah Pertama Negeri. Bukan kelas unggulan, tapi kelas pertengahan yang didominasi oleh anak-anak yang cukup beragam. Alim dan nakal. Aku? Tentu aku memilih bermain dengan anak yang nakal. Aku sangat tomboi dan urakan. Karena suasana kelas yang menyenangkan dan adanya ekstrakulikuler taekwondo, aku pun menyukai sekolah. Meski begitu, aku tetap bolos sekolah sesekali untuk mencari uang.
Aku sangat nakal. Demi tidak membayar ongkos angkutan umum dan menghindari menunggu bis sekolah yang sangat lama, aku memilih menumpang di mobil bak terbuka yang sedang melintas. Pernah ada kejadian aku terjatuh hingga pingsan saat melompat turun, tapi nyawaku selamat, hanya ada sedikit pergeseran tulang di selangka. Betapa beruntungnya aku.
Masa SMP adalah masa yang sangat kelam bagiku. Aku mulai merokok dan mengenal narkoba. Oh, jangan sekarang aku ceritakan hal ini. Tema hari ini tentang kemujuran jadi langsung ku katakan, berkat pencerahan dari seorang teman dan pendewasaan diri, aku bisa terbebas dari dunia hitam itu. Betapa beruntungnya aku.
Aku mulai serius dan menentukan jalan hidup, namun nilaiku tidak begitu bagus karena lebih banyak bermain dari pada mengejar nilai. Aku mulai khawatir tidak bisa bersekolah. Teman-teman yang satu gang denganku, kebanyakan bersekolah di swasta karena nilainya tidak mencukupi. Sahabatku Tika, tidak bisa melanjutkan sekolah karena nilainya tidak cukup masuk sekolah negeri dan keuangan keluarganya tidak mendukung. Aku takut sekali. Apakah aku juga tidak bisa bersekolah?
Seperti yang bisa kau tebak. Walau sempat tergeser di dua pilihan pertama, aku diterima di SMA Negeri yang lokasi tidak jauh dari rumah. Semua tetanggaku bilang bahwa aku beruntung karena SMAN itu adalah sekolah yang sangat sulit dimasuki. Wah, sungguh beruntung.
Lulus SMA. Aku yang terdaftar sebagai calon penerima beasiswa Bidikmisi mulai berjuang untuk masuk Universitas. Aku sangat memimpikan kemujuranku datang sekali lagi. Tapi ternyata tidak.
Jalur seleksi SNMPTN dan jalur seleksi SBMPTN semuanya gagal. Universitas Negeri Jakarta tempat yang sangat aku idamkan menolakku. Pupus sudah harapanku untuk mendalami sastra atau seni rupa. Dengan harapan terakhir yang hanya tersisa mandiri Perguruan Tinggi Swasta, aku mencoba. Aku melamar di Universitas Gunadarma dan mengambil jurusan seadanya. Dan, lagi-lagi ditolak. Ku rasa, aku sudah menghabiskan semua stok keberuntunganku. Tanpa beasiswa, aku tidak akan mampu kuliah.
Tak mau berlarut dalam kesedihan dan ingin membantu Ibu. Aku mencoba melamar pekerjaan. Aku akhirnya diterima di PT. Sumber Alfaria Trijaya dan mulai menjalani training. Hari kedua training, sebuah panggilan telepon dari Universitas menggangguku.
"Ada kandidat penerima beasiswa yang mengundurkan diri," ujar seseorang di ujung telepon "jika kamu bersedia, kami akan berikan beasiswa ini untuk kamu. Tapi jika kamu menolak, beasiswa ini akan kami berikan untuk orang lain."
Sungguh, aku tak putus dirundung mujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...