Sebelum hari pertamaku di bangku SMA, aku sudah berniat untuk mengubah sifat-sifat burukku yang dulu. Tidak ada lagi aku yang arogan dan kasar. Berganti menjadi aku yang lemah lembut.
Mungkin, berbaur dengan banyak orang, mengikuti tren-tren terbaru masihlah menjadi suatu hal yang sulit bagiku. Namun, ternyata menjadi aku yang apa adanya, menjadi aku yang sejujurnya, juga bisa menyenangkan. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama yang rasanya lama sekali, aku menemukan teman-teman yang cocok.
Jika di SMP aku cenderung berkata kasar, di SMA kata-kata itu hilang sama sekali. Kata orang, sulit mengubah kebiasaan. Tidak bagiku. Mungkin, karena aku di SMP bukanlah aku yang sebenarnya. Juga, karena aku tidak perlu menunjukkan kenakalanku untuk mereka.
Di SMA jurusan Ilmu Bahasa dan Budaya, aku duduk paling depan. Teman sebangkuku adalah remaja yang selalu meraih peringkat satu di kelas. Secara alami dan perlahan, karena bersamanya, aku mulai kembali rajin. Aku juga punya teman-teman tempatku berbagi makanan. Makanan yang tidak bisa dihabiskan oleh tubuh kurusku, tidak perlu khawatir terbuang. Mereka semua unik. Mereka semua menyenangkan. Masing-masing sifat kami tidaklah sama, tapi anehnya kami bisa berbincang dengan lancar seakan kami adalah perantau yang berasal dari daerah yang sama. Itulah yang kurasakan.
Seperti yang sudah-sudah, selalu saja ada yang menyebalkan. Namun, bagiku tidak lagi terlalu mengusik. Aku bisa dengan mudah mengabaikan hal-hal menyebalkan itu, dan fokus pada hal-hal baik.
Ketentraman yang kurasakan, walau masih ada masalah beberapa kali, membuatku kembali menikmati hal-hal yang kusukai. Terutama, seni rupa. Aku mulai mengikuti berbagai lomba lukis, dan selalu mendapat nilai tinggi di seni rupa.
Aku mulai aktif kembali di sebuah sanggar lukis bimbingan Om Herman bernama Sanggar Garis Biru. Bersama Om Herman, sahabat masa kecil, dan teman-teman satu sanggar, aku beberapa kali meraih penghargaan lomba lukis. Aku bahkan sempat juara satu dalam lomba lukis yang diadakan Museum Seni Rupa dan Kramik. Sebuah lomba yang kuketahui secara mendadak berkat informasi dari Om Herman. Tidak menyiapkan apa pun, tidak tahu konsep lombanya, aku datang hanya membawa diri. Begitu saja, aku jadi juara satu. Sungguh suatu keberuntungan.
Aku masih mengamen. Aku masih menyukai jalanan. Dari semua hal yang ingin kuubah, mengamen bukanlah salah satunya. Tidak ada yang salah dari mengamen. Bagiku, jalanan tetaplah sebuah zona yang membesarkanku. Bersama pengamen-pengamen di terminal bayangan Gudang Garam, aku menikmati waktuku menghibur penumpang-penumpang yang menunggu keberangkatan busnya.
Aku juga sempat mengikuti sebuah kelompok teater. Aku menyukai kegiatan yang diadakan. Aku pentas dua kali, tapi kemudian memilih keluar karena ada beberapa hal yang membuatku tidak nyaman.
Dari semua hal itu, belajar dan menikmati lagi hal-hal yang kusukai, aku bisa merasakan kebanggaan Mama. Piala-piala yang terkumpul dipajang Mama dengan rapi di sebuah rak. Walau seiring berjalan waktu, piala-piala itu menjadi rusak karena proses pindah-pindah kontrakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Ficción GeneralHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...