Si Yatim Palsu (2)

20 3 0
                                    

Aku sudah menyadari aku bukan anak yatim, entah sejak kapan. Mungkin bisik-bisik penghuni lama di Gang Candra 1 yang jadi burung pengantar kabar. Namun, sebelumnya aku berada pada masa di mana aku tidak bisa mempertanyakan hal itu pada Mama.

Pernah aku bertanya, "Ma, katanya Tiyas masih punya Bapak. Jadi, Tiyas bukan anak yatim."

Mama akan mengamuk dan berteriak, "Kalo bukan yatim terus Bapak lu mana? Mama sendirian yang ngurusin lu! Lu enggak punya Bapak! Bapak lu udah mati!"

Omelan Mama akan berlanjut dengan sumpah serapah yang cukup panjang. Kadang, diakhiri dengan tangisan. Membuatku merasa bersalah dan aku semakin takut untuk bertanya lebih jauh.

Kelas 4 SD, informasi itu pun terkuak. Aku mendapat jawaban pasti setelah ada anak-anak kecil yang usianya dibawahku, mengolok-olokku dengan suara keras.

"Ada anak haram! Ada anak haram! Eh, dia kan anak haram! Enggak ada bapaknya!" Anak-anak itu berteriak-teriak di dekat Pos RT 11, yang dekat dengan kontrakanku saat itu.

Belakangan, aku baru tahu anak-anak kecil itu mengolokku setelah mendengar seorang ibu-ibu menggosipi Mama. Rupanya, ibu-ibu ini tahu bahwa bapak kandungku masih hidup. Anak-anak yang mendengarkan, menelan mentah-mentah informasi itu hingga dijadikan sebuah kesenangan baru.

Karena aku yang semakin menuntut dan Mama tidak sanggup menjelaskan, tetangga yang mengenal Mama sejak sebelum aku dilahirkan, membantu memberi penjelasan. Mereka adalah Pakde Tohir dan Bukde Har.

Mereka menjelaskan padaku tentang bapak kandungku yang meninggalkan Mama sejak usiaku 6 bulan dalam kandungan. Mama pun menjelaskan bahwa ia lebih suka menganggap Bapak sudah meninggal. Selain karena sakit hati yang dirasakan karena Bapak tidak bertanggung jawab sama sekali dalam mengurusku, Mama juga ingin lebih mudah dalam mengurus administrasi seperti saat masuk sekolah SD dulu. Berkas bertanda cerai mati pun disetujui oleh RT setempat, setelah mengetahui kondisi Mama saat itu.

Cerita yang masuk ke telingaku pun semakin banyak. Namaku, Nurhayati Kurnianing Tiyas merupakan nama pemberian seseorang yang membantu Mama pasca melahirkan. Sedangkan, bapak kandungku tidak peduli sama sekali.

Sekalinya datang, bapak malah berniat menjualku. Dua juta rupiah. Jumlah uang yang ditawarkan pada Mama, karena Mama dianggap tidak akan sanggup mengurusku. Aku sedikit bisa membayangkan bagaimana amarah Mama waktu itu.

Setelah informasi ini kuterima, tak banyak yang bisa kukomentari. Otak kecilku kurang bisa mencerna semuanya, walau paham secara garis besar. Aku, bukan anak yatim. Aku juga bukan anak haram. Aku hanya seorang anak yang ditelantarkan bapaknya.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang