Mama penyayang, sungguh. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding saat Mama memeluk atau menggandeng tanganku dengan wajah ceria. Namun, tidak ada yang lebih menyeramkan di dunia ini dibanding marahnya Mama.
Aku nakal. Aku tahu. Namun, bukan kenakalan yang merusak kecuali kebakaran di kontrakanku yang dimiliki oleh Bu RT alias Mama Pio saat kelas 2 SD. Sudah kubilang, itu tidak sengaja. Aku hanya ingin bermain rumah-rumahan di belakang pintu. Aku tidak tahu apinya akan menyambar.
Kenakalanku hanya sekadar susah disuruh atau suara berisikku saat bermain membangunkan tidur siang Mama. Aku menyebabkan Mama sakit kepala. Namun, tidak ada ibu di Gang Candra 1 yang suka memukul separah Mama. Tetangga sampai terbiasa saat mendengar suara marah Mama atau suara piring pecah.
Piring-piring di rumah, lama kelamaan hampir semua berganti jadi piring plastik. Terlalu banyak piring yang Mama pecahkan saat marah. Sapu, tidak pernah awet gagangnya. Saat pertama beli, gagangnya panjang dan bagus. Tak butuh waktu lama untuk membuat gagangnya jadi pendek karena patah saat dipakai untuk memukulku.
"Ampun, Ma. Maaf, ampun...," ucapku dalam tangis.
Mama paling tidak suka kalau aku berbicara kasar atau kotor. Tinggal di lingkungan orang Betawi, membuatku suka ikut-ikutan bicara elu-gue, hingga menyebut nama binatang. Sungguh, aku tidak tahu kalau itu adalah bahasa yang kasar karena orang-orang di sekitarku menggunakannya. Namun, Mama marah dan menjejalkan cabai di mulutku.
"Kunyah! Jangan dibuang!" perintah Mama.
Sambil menangis, aku berusaha mengunyahnya walau wajahku memerah dan air liur mulai menetes dari mulutku.
Mama sering menyuruhku tidur di luar. Terutama jika kenakalanku terjadi di malam hari. Karena rumah dikunci dari dalam oleh Mama, aku pun akan tidur di bangku depan kontrakan, di meja warung sembako Bapak Anto, atau di undakan tangga Pos FBR.
Aku juga ingat, gigiku pernah hilang dari tempatnya setelah ditampar Mama. Pagi itu, aku diminta Mama untuk membeli nasi campur di Warung Padang Uni di Jalan Mundari. Namun, aku malah susah disuruh. Mama yang jengkel mulai marah dan memukulku. Sebuah tamparan keras juga mendarat di pipiku. Sambil menangis, aku membeli nasi campur, dan saat sampai di rumah Mama sudah tidak marah lagi.
"Cuci tangan, cuci muka. Terus ke sini, makan," ujarnya.
Sepanjang saat makan, aku sudah merasa ada yang tidak beres, tapi aku belum menyadari penyebabnya. Hingga saat hampir tengah hari, aku merasakan gusiku terasa lembut sekali.
"Ma, Tiyas ompong," ceritaku.
Mama memeriksa dan bertanya, "Gigi yang copotnya mana?" Aku menjawabnya dengan gelengan kepala. "Kalau ketelen nanti numbuh rambutan, loh," canda Mama.
Kami pun tertawa geli membayangkan sebatang rambutan muncul di mulutku.
Mama penyayang, sungguh. Ia sering memujiku sebagai anak yang cantik, dan memamerkan nilai-nilaiku setelah pengambilan rapor. Setelah pengambilan rapor, ia akan mampir ke warung Le Kamti dan pura-pura menanyakan nilai anak-anak dari mereka yang sedang berkumpul di sana. Seperti biasa, jika ada yang bertanya tentang anak mereka, mereka akan bertanya balik.
"Gimana nilai Tiyas, Epi?" tanya mereka.
Membanggakanku, Mama pun mulai menjelaskan dari A sampai Z tentang bagaimana Tiyas sangat baik di sekolah, mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran ini, dipuji guru-guru, dan sebagainya. Namun, saat marah ucapan yang keluar dari mulut Mama sungguh membuatku tidak berharga.
"Dasar anak anjing! Anak monyet!"
Tidak seberapa, yang sering membuat dadaku sakit adalah saat Mama berucap, "Dasar anak durhaka!"
Selanjutnya kemarahan Mama akan berujung pada ocehan betapa aku adalah anak yang tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih. Mama akan mengoceh tentang bagaimana sulitnya membesarkan aku seorang diri. Sungguh, kadang aku menyesal sudah terlahir ke dunia. Kadang juga, aku mempertanyakan apakah aku benar-benar anak kandung Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...