Hari adalah hari yang penuh kejutan. Ponakan dari suami terjebak suatu kasus yang menyeretnya pada introgasi dan penahanan polisi. Berhubung saya adalah satu-satunya anggota keluarga (dari keluarga suami) yang memiliki pendidikan tinggi. Saya pun diminta untuk mendampingi saat sang ponakan menjalani pemeriksaan di Polres.
Bukan. Bukan kasus itu yang akan saya ceritakan saat ini. Saya ingin menceritakan hal yang sudah saya sadari sejak lama tapi menjadi begitu kuat karena kejadian hari ini. Hal yang begitu mengharukan, membingungkan, unik, membuat saya terus-menerus memikirkan perbedaannya. Ini tentang dua keluarga yang menurut saya memiliki perbedaan cukup mencolok.
Saya dan suami memiliki perbedaan yang cukup banyak tapi saya selalu merasa perbedaan itu melengkapi kami. Dilihat secara internal, pernikahan kami menyatukan dua manusia yang berbeda latar pendidikan. Suami saya hanya lulusan sekolah dasar sedangkan saya seorang sarjana. Perbedaan latar pendidikan tentu berkembang menjadi adanya berbedaan pola pikir dan perbedaan pendapat dalam berbagai hal. Namun, sekali lagi, tak pernah menjadi masalah serius bagi kami.
Saya memanfaatkan kemampuan komunikasi saya dengan baik dalam rumah tangga. Juga, saya mampu melihat sisi baik apapun dalam pendapat suami karena saya percaya opininya pastilah untuk kebaikan juga. Berbeda pendapat dalam suatu hal bukan berarti berbeda tujuan. Tujuan kami sama, kami sama-sama ingin yang terbaik.
Kami, dua manusia yang berbeda ini juga berasal dari dua keluarga yang berbeda. Keluarga saya adalah keluarga yang mementingkan pendidikan. Keluarga saya boleh sulit dalam hal apapun tapi tidak ada yang bisa menggoyahkan semangat kami untuk menyelesaikan pendidikan. Didikan juga yang membuat saya bersikeras menyelesaikan sarjana walau kondisi benar-benar sulit.
Berkat pendidikan ini, saya dan keluarga jadi pribadi yang selalu berpikir panjang, berhati-hati saat bicara, dan sekali bicara harga mati. Telak. Namun, sayangnya dalam keluarga saya hubungan darah bukanlah sesuatu yang penting. Keluarga saya sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Ibu saya ditinggal orang tuanya saat kecil karena memilih untuk menikah dengan suami pertamanya yang menurut keluarga rendahan. Dibuang orang tua, diabaikan saudara sekandung, benar-benar ucapan "kami bukan lagi keluarga kamu" adalah hal yang nyata. Setidaknya, Ibu saya bahagia dengan suami pilihannya, sampai sang suami menghembuskan napas terakhirnya.
Pernikahan kedua, Ibu saya menikah dengan orang yang dikira terhormat, berasal dari pulau yang sama, Ibu kira hubungan dengan keluarganya akan baik. Pada nyatanya tidak. Hubungan keluarga hanyalah sebatas dokumen. Sang suami terhormat ini pada akhirnya menyakiti Ibu saya dan saya ditelantarkan sejak masih dalam kandungan.
Keluarga suami saya tidak terlalu giat mengejar pendidikan. Hingga banyak yang jika anaknya tidak mau sekolah maka keluarga dengan sukarela memberhentikan. Dukungan terhadap pendidikan yang kurang gencar, alasan kesibukan berniaga, hingga kerterbatasan ini-itu menjadi alasan.
Karena kurangnya pendidikan, keluarga suami selalu bicara selalu sembarangan tanpa berpikir panjang. Karena setiap bicara dipengaruhi emosi maka ucapannya pun tidak konsisten, bisa berubah lagi. Awalnya saya kaget tapi pada akhirnya saya bisa menerima hal ini. Saya mulai memahami bahwa apapun yang diucapkan keluarga suami walaupun menyakitkan hati, mereka tidak benar-benar memahami ucapan itu akan menyakitkan, hanya mengungkapkan secara sepontan apapun yang ada dipikiran mereka. Namun hebatnya, hubungan darah bagi mereka adalah hal yang penting.
Suami saya sering melakukan kesalahan, sering mereka marah besar dan mengucapkan, "Kamu bukan keluarga kami. Kamu bukan adik kami. Kamu bukan ponakan kami." Pada akhirnya mereka adalah orang pertama yang menolong dengan alasan, "masih keluarga." Begitupun dengan anggota keluarga yang lain. Mereka bertengkar hebat hingga bisa tidak saling tegur atau memaki di depan umum sambil saling menunjuk-nunjuk. Pada akhirnya saat satu sama lain dibuat terluka oleh orang lain, mereka dengan tulus ikut terluka dengan alasan, "Masih keluarga".
Pun demikian dengan ponakan yang hari ini kami bantu. Belum lama kakak ipar saya mengatakan pada semua orang bahwa "Dia bukan ponakan saya". Namun, hari ini dialah orang yang paling khawatir saat sang ponakan terkena masalah. Ia membantu sekuat tenaganya hingga jatuh sakit. Sungguh, saya terenyuh.
Saya bahagia menjadi bagian dari keluarga itu. Keluarga itu memberi saya kehangatan. Keluarga itu membuat saya merasa bahwa saya tidak akan pernah ditinggalkan lagi, seperti saya ditinggalkan dulu. Saya bahagia. Sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Ficción GeneralHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...