Anak Durhaka

17 3 0
                                    

Semenjak kedatangan Bapak, Mama semakin sering histeris. Kemarahannya sering berlebihan, jika dibanding kesalahan yang kulakukan.  Saking seringnya Mama mengamuk, orang-orang mulai mencapku sebagai anak nakal.

Berkali-kali, mereka menasihatiku, "Kamu tuh harus kasihan sama Mama. Mama kamu banting tulang bekerja siang malam buat kamu."

Aku tahu itu! Aku frustasi dalam pikiranku. Bagaimana meyakinkan mereka tahu bahwa aku juga menyayangi Mama? Bagaimana meyakinkan mereka tahu bahwa aku sudah berusaha jadi anak baik? Tidak perlu diberi tahu, aku tahu! Semua orang menasihatiku untuk menjadi anak baik, tapi tidak ada yang meminta Mama untuk sabar, untuk lebih lembut padaku. Ini tidak adil.

Haruskah Mama marah sambil membanting piring? Membanting barang-barang di rumah? Menutup pintu dengan keras? Bahkan dengan sengaja mematahkan sapu? Aku mengenal ibu-ibu dari teman-temanku. Tidak ada yang marah pada anaknya, seperti Mama marah padaku.

Dalam film-film, sosok ibu selalu digambarkan sebagai seseorang yang mahir menahan kemarahannya. Hingga di titik tertentu, barulah ia menyumpah. Sesuatu yang kemudian akan disesali si ibu itu sendiri. Namun, tidak demikian dengan Mama.

"Dasar anak durhaka! Malin Kundang! Jadi anak selalu menyakiti hati orang tua!" Itu yang selalu Mama ucapkan.

Aku bisa memaklumi kalau hanya sebatas itu. Seperti saat Mama marah sewaktu aku sedang menemani Mama bekerja. Mama tidak mau bicara padaku sampai tengah hari. Di Terminal Pulo Gadung, saat Mama sedang sebuah penjual minuman gerobakan, aku menghampiri Mama. Menuruti ucapan Pak Endut, aku meminta maaf.

"Ma, maaf. Jangan marah lagi, ya. Maaf...," ucapku.

Di depan banyak orang, Mama membuang muka dan berucap, "Enggak usah anggap Mama lagi. Kamu jadi anak enggak sayang sama orang tua."

Walaupun, aku tidak mengerti menapa mudah sekali Mama berucap tentang memutuskan hubungan, aku berusaha mengerti. Walaupun rasanya sesak bukan main, aku berusaha mengerti. Baiklah, mungkin aku memang tidak boleh berbuat salah sedikit pun pada Mama.

Hal yang tidak bisa kumengerti adalah saat Mama mulai pingsan setiap marah padaku. Kemudian, kesurupan. Ia menjerit-jerit di jalanan hingga harus ditenangkan oleh banyak orang. Aku curiga, Mama hanya berpura-pura. Namun, aku tidak menunjukkannya sama sekali. Aku tetap membantu Mama. Menyiapkan kayu putih. Membalurkan ke telapak kakinya. Mengikuti doa-doa dari orang-orang yang datang menonton. Hingga Mama sadar dengan mata sayunya. Sesuatu yang sangat jujur di mataku. Mama, dengan segala keletihannya.

Hal ini sangat sering terjadi, hingga sepertinya orang-orang mulai kehilangan simpati. Awalnya mereka kehilangan simpati padaku, sekarang mereka juga kehilangan simpati pada Mama. Setiap kali ini terjadi, semakin sedikit orang yang menolong. Semakin sedikit orang menonton.

Sepertinya, puncak di mana orang-orang semakin kehilangan simpati adalah insiden itu. Hari itu, aku dan Mama sedang bercanda-canda di depan warung Le Kamti. Tak hanya kami berdua, di depan warung juga ada Le Kamti dan beberapa orang lain. Aku di pangkuan Mama, lalu aku mengingatkan Mama untuk berhenti merokok. Sambil bercanda, tentu. Kemudian, rokok Mama yang sisa setengah batang itu patah di tanganku.

Hal yang terjadi setelah itu aneh sekali. Mama berteriak-teriak histeris. Mengutukku sambil menangis. Ia kemudian pulang ke kontrakan, dan mengambil sebuah gunting. Dengan gunting itu, Mama keluar lagi dan menjerit ingin bunuh diri.

"Enggak ada yang sayang sama saya! Saya lebih baik mati aja!" Seperti itulah jeritan Mama saat itu.

Di Gang Candra 1 itu, beberapa orang menonton dengan terperangah. Seorang tetangga lewat menggunakan pakaian polisi -sepertinya ia akan berangkat kerja- , berusaha menahan Mama dan merebut gunting dari tangannya. Kondisi jalanan yang becek setelah hujan, membuat pakaian si polisi itu kotor. Setelah itu, Mama ditenangkan di kontrakan.

Di kontrakan, aku habis-habisan diomeli oleh seorang tetanggaku. Hanya bisa menangis, aku membiarkan sumpah serapah itu tertuju padaku. Sementara, beberapa orang menganggap Mama berlebihan. Hari-hari berikutnya, aku merasakan beberapa tetangga mulai bersimpati padaku.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang