Mama pergi tepat saat aku sedang menjalani Ujian Kelulusan Sekolah Dasar. Ibu dari sahabatku datang dan mengabarkan Mama sedang berada di detik-detik terakhirnya. Jadi, aku meninggalkan sekolah dan pulang untuk menemani Mama.
Ada sakit hati yang sangat dalam, mengingat Mama sakit sekian lama karena menahan luka hati yang begitu besar. Bapak menikah lagi dan tidak terlalu mengurus kami secara finansial. Bukannya lepas tangan sama sekali, Bapak masih sering berkunjung tapi sekedar menanyakan kabar lalu pergi lagi. Namun, aku harus sedikit lega karena Mama kini tidak sakit lagi. Tinggallah aku, Mpok Ani, dan Adikku Alvin, harus terbiasa mandiri.
Lihat, itu Yasmin sahabatku yang selalu memanggilku dengan panggilan sayang ‘Ay’. Tubuh kurusnya memelukku, sementara air matanya membasahi bajuku. Sedekat apa pun hubungan kami, aku masih sering terkejut dengan melankolisnya. Ia menangis dengan ketulusan seakan ia juga merasakan kesedihan yang kualami. Padahal ia bukan keluargaku, tapi ia menangis seperti itu.
“Ay, yang tabah ya... Lu tahu, kan, gua bakal selalu ada buat lu,” hiburnya. Sebuah hiburan yang justru membuat air mataku mengalir lagi. Kepergian Mama jadi terasa begitu nyata.
Ibunya Yasmin kini gantian memelukku. “Di sini juga ada saya. Anggap saya seperti Mama sendiri ya. Almarhumah mama kamu juga dekat dengan saya selama ini. Jadi, jangan sungkan. Sekarang, kamu bisiki Mama, bilang kalau kamu sudah ikhlas. Bilang kamu akan jaga Alvin. Tapi, jangan sampai air mata kamu menetes ke badan Mama, kasihan.”
Aku menuruti nasihat Mamanya Yasmin. Sambil menahan tangis, aku membuka kain yang menutup wajah Mama dan berbisik, “Ma, Sarah ikhlas. Mama yang tenang, ya. Sarah bakal jaga Alvin bareng Mpok Ani. Mama jangan khawatir.”
Namun, aku yang pemberontak ini tidak bisa menepati janji pada Mama. Hubunganku dengan Mpok Ani tidak begitu baik. Mpok Ani sering sekali marah-marah karena hal yang sepele menurutku dan aku menjadi tidak nyaman di rumah. Itu berlanjut hingga aku SMP. Aku tidak masuk ke sekolah yang sama dengan Yasmin, jadi aku mulai memiliki teman-teman baru di sekolah. Aku mulai jarang bermain dengan Yasmin, tetapi sesekali aku berkunjung ke rumahnya untuk curhat dan menghilangkan penat.
Di sekolah, aku melakukan banyak kenakalan remaja dengan teman satu geng. Hingga, kenakalan remajaku semakin parah. Aku terjerumus dalam seks bebas. Aku memanfaatkan tubuh dan wajahku yang seperti orang dewasa untuk mendapatkan kasih sayang dari laki-laki. Juga, demi mendapatkan uang dan barang-barang yang tidak akan bisa kumiliki jika meminta pada Mpok.
Beberapa kali berganti kekasih, aku tersadar saat kekasihku masuk penjara karena obat-obatan terlarang. Masa depan seperti apa yang bisa kumiliki jika mendapat pasangan hidup sepertinya? Aku pun memutuskan hubungan dan berusaha menjadi lebih baik. Aku semakin sering bersama Yasmin, dan Mama -panggilanku untuk Mama Yasmin- mulai menerimaku kembali setelah sebelumnya sangat kesal dengan kenakalanku.
Saat itulah, aku bertemu dengannya. Hubunganku dengan Sam dimulai dengan sederhana. Dia adalah saudara dari tetanggaku. Beberapa pertemuan membuat kami menjadi dekat dan kedewasaannya membuatku nyaman. Dia mengajariku hal-hal baik. Aku pun merasa, dia adalah orang yang bisa melindungiku.
Dia bukan orang yang berpendidikan. Dia juga bukan orang yang memiliki pekerjaan keren. Dia hanya supir truk, yang berjuang menafkahi orang tua dan kelima adiknya. Kami bersama hingga aku lulus SMP. Dengan perbedaan usia enam tahun, dia membantuku melewati masa-masa sulit.
Aku lulus dengan nilai yang terbilang kurang. Tidak seperti Yasmin yang bisa bersekolah di SMA Negeri, tidak ada sekolah negeri yang mau menerimaku. Sementara Mpok Ani tidak mampu membiayaiku di sekolah swasta. Aku pun menerima takdirku untuk berpuas diri sebagai lulusan SMP. Aku bekerja di sebuah pabrik roti dan berusaha menabung. Hubunganku dengan Sam pun terjalin baik. Beberapa kali kami bertengkar karena sifatku yang kekanakan, tapi Yasmin selalu membantu menengahi kami. Hal yang tidak bisa kuatasi adalah, Mpok tidak merestui hubungan kami.
“Yang bener aje lu, Sar. Laki-laki modelan begitu lu pacarin. Mau jadi ape lu?” ucap Mpok.
“Sam baek, Mpok. Dia dewasa. Mpok liat dong, gimana dia sama keluarganya. Dia laki-laki yang bertanggung-jawab.”
“Elu mana tahu soal laki-laki yang baek!” oceh Mpok lagi.
Dengan kesal, aku pun membalasnya, “Terus yang baek itu modelan Yudi? Yang suka ngejablay?”
“Lu didiemin makin kurang ajar, ya!” Mpok mulai menimpukku dengan barang-barang terdekat yang ada di dekatnya. Aku pun memilih pergi dengan tangis tertahan. “Sono! Pergi lu ke rumah si Yasmin! Enak lu ye, ada yang lindungin!” Aku tidak menggubris ocehannya.
Aku memang ke rumah Yasmin. Rumah yang menerimaku dengan tangan terbuka. Kadang, aku juga memilih tidur di sini. Bahkan, tanpa kuminta, Mama yang kini kuanggap seperti ibuku sendiri, sering memasak makanan kesukaanku.
“Ma, masak apa?” tanyaku pada wanita yang suka tersenyum lebar itu.
“Ayam kecap. Kamu makan gih, ajak Yasmin. Dia belum makan, nunggu kamu katanya,” jawab Mama sambil mengisi buku teka-teki silang favoritnya.
“Yas, lu belum makan?” tanyaku pada Yasmin yang asik membaca novelnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...