Tanggung Jawab

14 1 0
                                    

Padahal sudah kutargetkan jauh hari, sebelum resmi mengikuti tantangan menulis 30 hari jilid ini. Aku akan memanfaatkan program ini sebaik mungkin. Sudah ada daftar tulisan yang harus diselesaikan. Ada janji-janji dalam hati, yang ingin kupenuhi. Aku memang sudah bekerja, tapi aku yakin bisa menyelesaikan program ini di sela kesibukan kerjaku. Diawali dengan rasa semangat, aku memulai program ini dengan rasa antusias. Sayang, antusiasme itu tidak berlangsung lama.

Orang itu benar-benar menghancurkan semangatku. Dulu, saat aku hendak bekerja di sebuah perusahaan dan berhenti bekerja dengannya, aku ingat bagaimana gigihnya ia membujukku untuk tetap bekerja dengannya. Aku sudah jabarkan dengan sangat baik, apa saja kendala yang aku hadapi, apa saja alasan yang membuatku harus bekerja di tempat lain. Namun, dia bersikeras menahanku.

Dia menasihatiku dengan beragam kalimat motivasi nan religius. Aku ingat salah satu kalimatnya. "Tiyas, kamu ga boleh hitung-hitungan dengan Tuhan. Kalau kamu hitung-hitungan, nanti Tuhan juga hitung-hitungan memberi ke kamu. Hitungan Tuhan itu lebih baik," ucapnya.

Tidak. Aku tidak luluh. Aku paham bagaimana perbedaan kami sangatlah jauh. Dia kaya sejak lahir. Dia belum pernah ada di posisiku. Tentu saja dia tidak mengerti. Sekali lagi, aku memberinya pengertian.

Akhirnya dia berkata, "Ya sudah, begini saja. Bisnis makanan yang akan dijalankan ini, kan nanti bisa dikelola suami kamu. Ketika toko dan rumah yang sedang dibangun ini selesai, kamu akan saya gaji untuk mengelola toko. Kamu juga ga perlu mengontrak lagi. Kamu tidur di sana, yang penting kamu rawat dan rajin bersihkan saja. Hanya tiga bulan, Tiyas. Januari itu selesai dibangun."

Suami saya tergiur. Saya tahu, dia sudah lama bermimpi untuk mengelola bisnis terutama makanan. Jika saya ambil tawarannya, yang akan diuntungkan bukan hanya saya tapi juga suami saya. Saya akan mendapat gaji, suami saya mendapat bisnis, dan pengeluaran akan berkurang karena tidak perlu membayar kontrakan. Kami bisa menabung dan membuat target yang lebih besar. Berpikir beberapa hari, saya menerima tawarannya dan membuang kesempatan saya bekerja di perusahaan.

Saya bodoh. Sangat. Manusia bukanlah makhluk yang bisa memegang janji. Apalagi tanpa hitam di atas putih. Saya dibuang begitu saja secara mendadak, sebelum saya mempersiapkan apapun.

Rusak. Suasana hati saya rusak. Semangat saya hilang seketika. Saya tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Saya menyelesaikan kewajiban saya sekedarnya. Target-target yang sudah saya buat, terbengkalai sepenuhnya.

Saya tidak mau menulis cerita-cerita peri, yang kemarin saya siapkan dengan rasa bahagia. Saya tidak bisa membaca tulisan teman-teman satu squad. Tulisan bahagianya tidak bisa membahagiakan saya, tulisan motivasinya tidak bisa memotivasi saya, malah saya tidak bisa berhenti menangis setelah membaca tulisan sedihnya. Akhirnya secara curang, saya hanya mencari tulisan lama yang belum pernah saya publikasikan dan memakainya sebagai setoran.

Saya bersyukur, saya cepat sadar sebelum program ini berakhir. Saya harus bisa melawan mood saya yang sudah hancur. Saya harus berjuang sebagai bentuk tanggung jawab pada diri saya sendiri. Melihat Ibu saya berkunjung hampir setiap hari karena khawatir dengan kondisi saya, saya merasa malu. Saya bukan anak yang dibesarkan untuk menjadi selemah ini.

Saya melihat orang-orang yang muncul di drama, pembawa acara berita, penyiar radio. Mereka bertanggung jawab pada tugas mereka bagaimanapun mood mereka hari itu. Setiap manusia memiliki masalah, bukan? Saya juga harus begitu. Saya sudah memulai program ini, saya juga harus menyelesaikannya dengan baik. Hari yang kemarin, biar saja berada di belakang. Saya ingin menjalani hari ini sebaik mungkin lalu mempersiapkan hari esok.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang