Pada hari itu, Mama sedang menjajakan korannya di dalam sebuah metromini yang memangkal di depan Pasar Kaget. Aku yang sudah berada di kelas 2 SD, merasa senang bisa menemani Mama berjualan karena sedang libur sekolah.
"Evi, sini sebentar," ujar pria bertubuh gendut itu dari kursi supirnya. Pria yang memanggil itu, adalah seorang kenalan Mama. Aku biasa memanggilnya Pak Endut.
Merespon panggilan Pak Endut, mama mendekat ke kursi supir. "Kenapa, Bang?" tanya Mama.
Rupanya, hari itu, Pak Ndut ingin mengajak Mama bekerja bersamanya. Ia bertanya tentang penghasilan berjualan koran dan apakah penghasilan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan Mama. Mama pun menjawab dengan jujur bahwa penghasilannya terbilang sangat kurang.
"Saya sudah lama perhatikan kamu. Saya sudah tebak penghasilan dari koran nggak seberapa. Kasihan kamu. Kasihan juga Tiyas. Kamu mau nggak kerja sama saya? Jadi kenek. Setidaknya penghasilan kenek lebih besar dari pada jualan koran," jelas Pak Endut pada Mama.
Mama terlihat ragu. "Tapi, saya nggak bisa ngenekin, Bang."
"Saya ajarin nanti. Gampang. Kamu mau apa nggak?"
Mama pun dengan segera menyambut kesempatan itu. "Iya, Bang, mau."
"Itu kenek saya yang di belakang, nggak bisa seharian. Saya nyari yang bisa seharian, biar nggak ganti-ganti. Tapi nyari kenek yang jujur itu susah. Sampai sekarang saya belum pernah nemu yang bener." Pak Ndut menjelaskan, "Kamu nggak usah turun, ikut saya setengah rit, pelajari kerjaan kenek."
Mama pun mengangguk. Berinisiatif, Mama mengambil posisi hendak duduk. Namun, Pak Endut menegurnya. "Kamu kan mau belajar, jangan duduk di depan. Duduk di belakang, perhatikan itu!" seru Pak Endut lagi. Melihat Mama yang bingung, Pak Endut kembali berujar, "Tiyas biar di depan, sama saya."
Mama pun ke kursi belakang, entah kursi yang mana. Aku tidak memperhatikan karena sepanjang jalan Pak Endut mengajakku bicara. Kami mengobrol tentang sekolahku, kegiatan belajarku, dan tentang bagaimana Pak Endut sangat menghargai orang yang bersekolah. Setengah rit perjalanan, dari Pasar Kaget ke Terminal Tanjung Priok hingga kembali ke Pasar Kaget, terasa mengasyikkan bagiku. Sangat asyik hingga membuatku tertidur nyenyak malam harinya.
Aku sedang tertidur nyenyak waktu Mama membangunkanku di jam 03.00 dini hari. Rupanya, Mama harus berangkat bekerja dari sekarang. Aku yang masih mengantuk pun mengangguk asal-asalan.
Mama resmi menjadi kondektur Metromini 41. Bergelantungan di pintu metromini, Mama berteriak-teriak memanggil penumpang. Setiap penumpang yang naik, Mama akan menunggu si penumpang duduk dengan nyaman barulah Mama menghampiri tempat duduknya. Meminta ongkos. Hari pertama itu, Mama pulang dengan suara serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Ficción GeneralHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...