Day 25 - Kebakaran

9 2 0
                                    

Aku kelas satu sekolah dasar, waktu itu. Aku tinggal di Gang Candra 1 tepat di pinggir kali dekat jembatan yang menjadi akses keluar masuk gang. Aku ingat harga kontrakan kecil berukuran sekitar 2x4 meter itu hanya delapan puluh ribu. Sangat kecil, ya. Tapi cukup untuk ditinggali berdua dengan Ibu karena perabotan yang kami miliki hanya satu lemari, satu rak kecil dan satu meja. Serta tikar anyaman dari plastik yang bisa digulung saat bangun tidur. Kompor Ibu terletak di luar samping kontrakan. Pemilik kontrakan itu adalah Ibu RT yang baik hati.

Tepat di sebelah kontrakanku ada kontrakan yang lebih besar dan ditinggali oleh keluarga pedagang bakso. Aku memanggilnya Bapak Rima dan Ibu Rima karena mereka memiliki seorang anak bernama Rima. Dinding kontrakan Bapak Rima dan kontrakanku bersentuhan langsung. Jarak dari pintuku ke pintunya hanya beberapa langkah. Aku sering masuk ke rumahnya di pagi hari terutama di hari minggu untuk menumpang menonton televisi. Karena anak mereka Rima, sering menyetel siaran kartun yang kusuka di waktu-waktu itu.

Pagi itu, aku bermain kemah-kemahan dengan beberapa anak sebaya hingga waktu beranjak siang dan anak-anak itu dipanggil oleh ibu mereka masing-masing. Ibuku sedang bekerja, jadi tidak ada yang memanggilku untuk makan siang. Tidak nyaman bermain sendiri di luar rumah, aku pun lanjut bermain di kontrakan. Dengan selembar kain milik Ibu, aku membuat kemah yang memanjang dari belakang pintu hingga meja.

Di rumah, ada sebuah panci berisi sayur asem buatan Ibu yang sudah basi namun belum dibuang dan dicuci. Aku lupa berapa lama panci itu di situ namun terlihat belatung menggeliat-geliat. Aku tahu harusnya aku membuang dan mencucinya, tapi yang kulakukan hanya menutupnya. Aku si anak kecil yang bodoh, malah berharap Ibu tidak melihat panci itu.

Aku mengambil lilin dan mulai bermain di bawah kemah-kemahan yang sudah kuciptakan. Aku menata perabotan kecil dan berada di dalamnya dengan cahaya dari api lilin terasa sangat nyaman. Aku bahagia sampai api lilin itu membakar kainnya. Aku yang tak mengira api itu akan membesar hanya meludahi apinya. Tak kunjung padam, aku keluar dan menciduk air di ember bapak Rima dengan gelas dan menyiram kain itu. Sayangnya, api sudah merambat ke pintuku yang terbuat dari kayu. Saat ini, barulah aku sadar aku sudah melakukan kesalahan besar.

Aku ketakutan dan bolak balik. Hingga asap hitam mulai keluar dari sela-sela pintu. Tak tahan depan asapnya, aku keluar rumah. Di depan, Bapak Rima terlihat keluar dan mencari-cari sumber bau bakaran. Dia sangat terkejut saat melihat asap di pintu rumahku.

"Kebakaran!" teriak Bapak Rima.

Tiba-tiba saja, suasana di sekelilingku menjadi ramai. Para tetangga bolak balik menciduk air kali untuk memadamkan kontrakanku yang sudah terbakar sebagian. Ibu Rima terlihat khawatir karena kontrakannya berada tepat di sebelah. Aku yang tidak tahu harus apa akhirnya hanya bersembunyi dan menangis. Berharap Ibu tak menemukanku. Tapi sore hari, aku pulang lagi dan memutuskan untuk pasrah.

Aku masuk ke rumah yang sudah berantakan dan basah. Panci yang berisi sayur asem basi itu tumpah berserakan. Aku membereskan sedikit-sedikit dan berdoa tindakanku bisa mengurangi kemarahan Ibu.

Menjelang malam, Ibu pulang dan disambut oleh cerita tetangga tentang kejadian siang ini. Tak bisa berkata apa-apa, Ibu terlihat takut saat melihat pintu rumah dan sebagian dinding kontrakan menghitam juga ada kerusakan di atapnya. Di luar dugaanku, Ibu yang lelah bekerja justru tidak marah sama sekali. Ibu mengajakku ke rumah Ibu RT untuk meminta maaf karena sudah menyebabkan kebakaran. Ibu RT yang sekaligus pemilik kontrakan memaafkanku. Kejadian itu pun berakhir begitu saja seperti tidak terjadi apa-apa.

Hanya saja, cukup lama setelah itu, Ibu RT meminta kami pindah kontrakan. Katanya, tanahnya sudah dijual pada orang lain dan akan ada pembangunan di situ. Barulah Ibu marah dan memukuliku. Ibu bilang, kami diusir karena aku membakar kontrakan. Aku tidak tahu benar atau tidak, saat itu yang kurasakan hanya menyesal. Aku terus menyesal bahkan setelah beberapa kontrakan dibongkar dan beberapa bangunan toko berdiri di atas tanah yang tadinya adalah kontrakanku.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang