Pieces 58

506 96 23
                                    

Klap.

Kepala Namjoon dengan cepat menoleh saat kupingnya mendengar suara pintu studio ditutup. Sepasang mata kecil produser muda itu makin menyipit terdesak pipi tembam yang terangkat oleh senyuman lebar penuh kelegaan yang merekah di bibir tebal.

"MY BRO!" Namjoon merentangkan kedua lengan berotot, merengkuh tubuh Hui yang baru datang dalam pelukan erat.

"SYUKURLAH KAU DATANG LEBIH DULU DARI JAE! AKU SUDAH MENYERAH MAU BAGAIMANA MENGHADAPI DIA KALAU SENDIRIAN! UEUEUEUE...! TAK KUASA HATI INI JIKA HARUS MELAWAN MONSTER ITU SENDIRIAAN...!" produser berpipi tembam merengek hampir menangis sementara rekannya cuma menghela napas sambil memaksa melepaskan diri dari dekapan. Hui melepas jaket, menyampirkannya di sandaran kursi dan meletakkan topi di dekat komputer.

"Kau habis ada urusan apa sih? Sepenting itu ya sampai harus pergi setiap hari?" tanya Namjoon kembali mendudukkan diri bersebelahan dengan partner-nya.

"Lagunya 'kan sudah selesai. Cuma revisi sedikit, tak masalah meski aku tidak di sini," elak Hui tidak menjawab secara tepat pertanyaan barusan.

"Walau begitu, please remember kalau Jae kadang datang untuk supervisi dadakan seperti ini. Kau tahu sendiri aku tak bisa berkutik banyak berhadapan dengan manusia perfeksionis satu itu. Kalau cuma Brian yang datang, aku masih berani mendebatnya. Kalau Jae...aku tak sanggup~" keluh produser yang lebih muda.

"Kau habis darimana sih memangnya?" Namjoon bertanya lagi. Dengan sengaja Hui tidak menjawab.

"Baumu obat. Kau dari rumah sakit ya? Siapa yang sakit?"

Lelaki bermata sipit terkesiap mendengar kalimat berusan.

"Apa setajam itu baunya?" tanya Hui cepat.

"Eum," angguk Namjoon. "Jaketmu terutama. Bau obat."

"Shit!" bergegas Hui berdiri dengan menyambar jaket lalu membawanya keluar studio diikuti tatapan heran sepasang mata Namjoon.

"Shit!" bergegas Hui berdiri dengan menyambar jaket lalu membawanya keluar studio diikuti tatapan heran sepasang mata Namjoon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.

"Karena langsung dapat tindakan pertama, lukanya jadi tidak terlalu parah. Dalam beberapa hari memarnya akan reda dan tidak mungkin melepuh, jadi tidak akan meninggalkan bekas juga," ujar Kevin usai mengoleskan salep luka bakar pada tangan Dowoon yang baru saja tersiram susu panas saat terjatuh di perjalanan kembali ke ruang terapi setelah membeli makanan di kantin rumah sakit.

"Ne, Hyung. Terima kasih," ujar pemuda bermata bulat menatap punggung tangannya yang memerah dan terasa perih bagai ditusuk jarum-jarum kecil.

"Bagaimana bisa kau jatuh seperti itu? Kau tidak memperhatikan jalan ya?" tanya Kevin dengan menghela napas dan hanya mendapat balasan sebuah cengiran rasa bersalah.

"...maaf, Hyung," desis Dowoon. "Lain kali aku akan lebih hati-hati." Setelah bicara demikian, iris coklat pemuda berkulit susu langsung menerawang teringat akan tepukan (dorongan) kuat telapak tangan yang mengenai punggungnya tadi dan menjadi penyebab dia tersentak ke depan hingga berakhir terjerembab, menjatuhkan susu panas sampai mengenai tangan mengakibatkan luka bakar.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang