Pieces 51

582 137 48
                                    

Dengan sepasang mata bergetar cemas Wonpil memperhatikan Kevin yang sedang berbincang bersama seorang dokter yang datang bersamanya barusan setelah menerima telpon mengenai Dowoon yang mendadak sakit dari gadis itu. Mereka bicara dalam bahasa Inggris yang masih agak susah dipahami Wonpil, membuat wanita berkebangsaan Korea tersebut terpaksa diam karena tak ingin menyeletuk tidak nyambung.

Dokter yang datang bersama Kevin telah selesai memeriksa kondisi Dowoon yang masih terbaring di tempat tidur. Dia nampak menjelaskan banyak hal yang dijawab anggukan serta beberapa kali kerutan alis di kening Kevin, penuturannya ditutup oleh secarik kertas yang kemudian ia berikan pada sang psikiater.

"Wonpil-ah," sapaan Kevin yang tiba-tiba membuat gadis mungil terlonjak di tempatnya duduk.

"N-ne...!?" balas Wonpil buru-buru berdiri yang mana langsung dihentikan oleh sang dokter.

"Kau duduk saja," ujar Kevin mencegah ibu hamil yang bahkan untuk bangkit dari kursi sudah nampak kesulitan dengan harus meletakkan tangan di bawah perut guna menyangga kandungannya.

"Aku cuma mau mengantar Dokter Louie ke depan. Aku segera kembali," sambung Kevin. "Kau tidak perlu ikut. Kau di sini saja," imbuhnya dengan nada tegas.

"Ne..." angguk Wonpil kembali mendudukkan diri di kursi. Dengan ragu gadis tersebut memandang dokter di sebelah Kevin lalu membungkukkan sedikit badannya.

"Thank you so much..." ujar Wonpil memberanikan diri mengucapkan terima kasih yang langsung dibalas senyum ramah sang dokter.

"You are welcome, Ma'am. You can call me every time you need any help," balas dokter Louie yang segera membuat ekspresi gadis bermata bulat membeku. Wonpil buru-buru menatap Kevin dengan sorot minta pertolongan. Kevin yang mengerti maksud pandangan mata melas itu langsung menyahut.

"Beliau bilang untuk tidak ragu-ragu menelponnya jika kau butuh bantuan lagi," ujar pria berwajah manis menerjemahkan kata-kata dokter Louie barusan.

"Ah, ne--YES, thank you. Thank you," ucap Wonpil kembali membungkukkan badan gugup.

"Then, excuse me," ujar dokter Louie lantas beranjak keluar pintu kamar Dowoon diikuti Kevin. Masih terdengar mereka bercakap-cakap sambil berjalan menuju beranda apartemen.

Perlahan Wonpil bangkit dari kursi dan melangkahkan kaki mendekati ranjang adiknya. Wajah Dowoon nampak lebih tenang dibanding tadi. Dia langsung bisa tidur setelah dokter Louie menyuntikkan obat dan menurut kata-kata Kevin yang merupakan terjemahan dari ucapan sang dokter, dalam beberapa jam ke depan seharusnya demam Dowoon juga akan mereda secara bertahap.

Dengan lembut gadis bermata bulat meraih jemari adiknya yang terasa hangat. Digenggamnya tangan itu dengan sedikit gemetar.

"Kau harus bertahan, Dowoon-ah," bisik Wonpil. "Semuanya akan baik-baik saja, jadi kau tak perlu sedih lagi. Kau tak perlu kepikiran lagi."

Tap tap tap, terdengar suara langkah kaki dari luar kamar yang bergerak makin dekat. Sosok Kevin muncul dari pintu, dia tersenyum saat melihat jika sang ibu hamil telah berpindah duduk di tepi tempat tidur saudaranya.

"Dokter Louie bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Kevin. "Demamnya bukan karena infeksi luka, Dowoon akan segera sadar dan baik-baik saja." Ia menghibur.

"Ne," angguk Wonpil masih menggenggam dan memainkan jari-jemari Dowoon yang nampak membiru ujung-ujung kukunya, sisa frostbite ketika dia menderita hipotermia.

"Dokter--"

"Panggil Kevin saja," sela Kevin tanpa melepas senyum dari wajah manisnya.

"Ne...Kevin-ssi," ujar Wonpil. "Dowoonie sepertinya tidak sakit karena luka fisik." Gadis tersebut menggumam.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang