Pieces 14

1.3K 196 56
                                    

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Jaehyung tanpa basa-basi atau bahkan sekedar menyapa lebih dulu, saat ia melihat sesosok pria berwajah ramah berjalan mendekat ke arahnya dengan jubah putih di badan yang berkibar. Salah satu dokter spesialis psikologi di rumah sakit terbaik Los Angeles tersebut terkekeh sebelum bicara.

"Can I get my 'good afternoon' first?" Tagihnya yang terasa seperti menyindir halus. Pria tinggi melengos namun tetap mengikuti keinginan dokter muda itu.

"Good afternoon, Kev," ujar Jaehyung.

"Good afternoon, Jae." Kevin--psikiater muda yang juga merupakan teman dekat Jaehyung--membalas tanpa menghilangkan senyum ramah yang seolah memang sudah menjadi bagian tetap dari wajah rupawannya. "Do you have your lunch?"

"Not yet," jawab Jaehyung pendek. "So, how is Dowoon?"

Kevin tergelak renyah. "Kau selalu to the point seperti biasa. Tidak suka basa-basi," ia berdecak pelan. "Follow me, I'll tell you the detail in my office." Lelaki tersebut membalikkan badan, berjalan di koridor serba putih diikuti oleh langkah panjang kaki rekannya.
.
.
"Aku sudah mencocokkan hasil pemeriksaan di Jepang dengan check up di sini dan memang tidak ada perbedaan signifikan," ujar Kevin menunjukkan layar komputer yang sedang memperlihatkan hasil scan kepala Dowoon.

"Seperti yang bisa kau lihat, masih belum ada perbedaan pada volume otaknya dibanding standar yang dimiliki pemuda seusia dia, dengan kata lain kita bisa menyimpulkan kalau kerusakan ingatan yang ia alami belum sampai ke tahap cukup berbahaya," sang dokter menjelaskan. "Kenapa aku bilang belum? Karena tidak ada yang bisa memastikan kondisi Dowoon akan dapat lebih baik dari ini atau malah sebaliknya. Itu semua benar-benar tergantung pada usaha dan keberuntungannya, Jae. Usahanya untuk bisa mengatasi ketakutan akan traumanya dan keberuntungannya dijauhkan dari berbagai hal yang bisa menjadi pemicu."

Jaehyung diam mendengarkan.

"You know it better than others, Buddy. When someone has PTSD, their struggle is real of the realest. Bahkan kejadian sepele saja bisa menjadi pemicu yang sangat berbahaya dan dapat mengancam nyawa. Tidak ada siapapun yang bisa membantu kecuali dirinya sendiri. Kecuali sugesti, kontrol pikiran, dan perasaannya sendiri. Bahkan jika Dowoon menjalani terapi serta meminum obat-obatan, kalau tidak ada ketiga hal tadi usaha sekeras apapun akan tetap bisa sia-sia."

Pria tinggi mengangguk. "I know..." Ia mendesis.

"Apalagi, efek yang dia alami akibat trauma itu bukan sekedar serangan panik biasa. Sesak napas bahkan sampai hipotermia. Kalau dia tidak bersama seseorang waktu traumanya kambuh, nyawanya akan dalam bahaya," ujar Kevin mencoba menuturkan kebenaran tanpa ingin menjatuhkan mental siapapun. Beruntung, Jaehyung kembali mengangguk paham.

"Tidak bisakah kau mengajari dia mengatasi efek itu menggunakan obat atau sejenisnya? Hanya untuk berjaga-jaga, karena terapi juga belum tentu bisa langsung menunjukkan hasil," tanya pria tinggi.

Kali ini Kevin yang mengangguk. Tangannya meraih sebuah map yang merupakan dokumen lengkap hasil pemeriksaan kesehatan Dowoon selama di Jepang yang dibawa serta ke Amerika oleh perawat yang menemaninya dalam perjalanan.

"Dokter sebelumnya juga menyarankan hal itu. Selain obat untuk mengatasi sesak napas, Dowoon juga dianjurkan mengkonsumsi antibiotik untuk infeksi telinganya. Actually, there will be A LOT of medicines. Ah, aku harap anak itu bisa tahan dengan semua obat-obatan ini," gumam Kevin.

"I trust you, Kev," ujar Jaehyung. Sorot mata dan nada kalimatnya nampak sangat tulus. "Please, help him."

Psikiater muda berwajah manis terdiam sebentar. Mengulum senyum. Lalu meletakkan kedua tangannya di meja.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang