Pieces 1

2.1K 225 60
                                    

Los Angeles International Airport.

LAX.

California.

Amerika Serikat.

Rasanya sudah lama sekali Jaehyung tidak menginjakkan kaki di tempat ini lagi.

Orang-orang dengan kulit putih pucat yang berlalu-lalang.

Rambut pirang, platinum, beige, dan coklat kemerahan.

Iris berselaput pelangi warna cerah dominan biru dan coklat terang.

Serta yang lebih mencolok, tak lain adalah gaung suara, gema, gumam, dan bisik yang tertangkap telinga, semuanya berupa bahasa yang begitu familiar di telinga Jaehyung dan sama sekali berbeda dengan tempat dia berada sebelum naik ke pesawat 14 jam lalu.

Walau memiliki udara yang sama, langit yang sama, dan berpijak pada tanah bumi yang sama, pria tinggi tersebut dapat merasakan jiwa serta dirinya jauh lebih bebas saat berada di negara asal daripada di Korea Selatan.

"Welcome home..." gumam Jaehyung pada dirinya sendiri, mengulum senyum kecil ketika melihat keadaan sekeliling yang (akhirnya) berubah jadi lebih familiar dibanding tadi sebelum ia naik pesawat.

"Jae..." Sebuah panggilan suara kecil membuat lelaki tinggi menoleh cepat. Raut wajahnya berubah heran ketika melihat sosok mungil seorang gadis dengan perut membesar bulat nampak berjalan mendekat dengan langkah kaki rapat dan air muka seperti mau menangis.

"What?" Tanya Jaehyung pada istrinya, yang sejak turun dari pesawat tadi terus bilang kebelet dan ingin pergi ke toilet.

"T-toiletnya..." Wonpil berbisik.

"Kau tersesat? 'Kan sudah ku bilang lurus saja, nanti ada papan di atas, cari yang tulisannya 'Restroom' R-E-S-T-R-O-O-M. Kau ikuti saja arahnya," jelas Jaehyung.

"Bukan itu...kalau yang itu aku sudah tahu..." Wonpil menjawab pelan.

"Lalu? Toiletnya penuh?" Tebak sang suami lagi.

Gadis mungil menggelengkan kepala.

"Rusak? Di lantai dua sepertinya masih ada toilet."

Kembali wanita lebih muda menggeleng.

"Then?" Kening Jaehyung mengernyit.

"A-aku tidak boleh masuk ke dalam..." Desis Wonpil. "Aku diusir..."

Pria tinggi diam sejenak. Ekspresinya berubah datar.

"Huh?"

Kedua kaki Wonpil bergerak makin gelisah menahan kebelet yang pasti telah sampai pucuk.

"Pak Sekuritinya tidak memperbolehkan aku masuk dan bicara sesuatu sambil menunjuk-nunjuk perutku. Apa...apa aku tidak boleh masuk karena aku hamil?"

"Mana ada hal begitu..." Jaehyung mendesis sangsi. Pantas saja mukanya seperti mau menangis, dia melanjutkan dalam hati.

"B-beneran! A-apa mungkin...Pak Sekuritinya berpikir aku tidak benar-benar hamil tapi sedang membawa bom? S-soalnya di film James Bond yang pernah aku lihat--" ocehan Wonpil jadi melantur kemana-mana.

"Sudah ku bilang tidak ada hal seperti itu di sini," desis Jaehyung membuang napas panjang. "Aku antar," kemudian lelaki tersebut beranjak. Merangkulkan lengan ke pundak Wonpil yang langsung menggenggam tepi jaketnya dengan erat bagai anak kecil mencari pegangan pada sang ibu karena takut tersesat di keramaian.

"Jae, kalau Pak Sekuritinya marah-marah lagi bagaimana?" Sepanjang jalan Wonpil mencemaskan hal yang kurang perlu, seperti tak ingat jika tampungan kemihnya sekarang jauh lebih penting untuk dicemaskan.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang