Pieces 74

542 83 22
                                    

Dengan perlahan Kevin menghela napas dalam. Di tangannya ada sebuah map berisi kertas-kertas hasil tes kesehatan Dowoon dan saat ini pemuda yang seharusnya sudah memulai rutinitas terapi untuk gangguan PTSD yang ia derita, malah nampak sedang berbaring di ranjang dalam ruangan ber-mesin penghangat sambil mengedarkan mata kebingungan.

"Hyung..." Dowoon memberanikan diri memanggil Kevin yang berdiri tak jauh dari tempat tidur. Sang dokter muda segera menjatuhkan tatapan padanya dan menyunggingkan senyum lembut.

"Ada apa, Dowoon-ah?" tanya Kevin ramah.

"Terapinya mau dimulai kapan?" pemuda bermata bulat membalas. "Kenapa aku malah disuruh tidur di sini?" ia kembali mengedarkan pandangan pada seisi kamar pasien dengan 4 ranjang kosong yang salah satunya sedang dia dipakai.

"Untuk hari ini kau tidak perlu melakukan terapi," jawab Kevin. Senyuman belum pudar dari wajah manisnya. "Yang perlu kau lakukan hanya beristirahat dan memberitahuku apa yang sedang kau rasakan."

"Yang sedang...aku rasakan?" Dowoon mengerjabkan mata tak mengerti.

"Eum." Dokter berambut coklat cerah mengangkat map yang sejak tadi dibawa oleh tangannya. "Hasil pemeriksaan tubuhmu kurang bagus, itu juga yang membuatmu tidak boleh terapi hari ini. Apa kau sedang ada masalah?"

Iris coklat Dowoon terbeliak kaget mendengar penuturan barusan dan mata sipit Kevin cukup tajam untuk dapat menangkap perubahan ekspresi itu.

"T-tidak ada masalah, Hyung. I-itu...aku cuma beberapa kali tidur kemalaman karena nonton drama di Netflx," ujar Dowoon gugup.

"Ah, benarkah...?" dokter berwajah manis menggumam. "Begadang memang seharusnya tidak dilakukan terlalu sering atau akan memicu penyakit."

"Maaf..." raut muka Dowoon menampakkan rasa bersalah. "Aku tidak akan begadang lagi nanti. Jadi, Hyung bisa melakukan terapi padaku--"

"Kim Dowoon~" dengan tiba-tiba Kevin memanggil nama lengkap pasiennya yang mana hal tersebut langsung membuat Dowoon terkesiap dengan perasaan dingin berdesir ngeri di dalam tubuh. Untuk beberapa alasan tertentu, rasanya memang menakutkan jika nama kita mendadak dipanggil secara lengkap oleh seseorang yang biasa menyebut nama pendek. Apalagi jika cara memanggilnya sambil memamerkan segaris senyum di wajah ramah yang terlihat dibuat-buat.

"Kau ada masalah apa? Hm?" tanya Kevin dengan nada kalimat serupa guru TK yang sedang menggunakan stok kesabaran terakhir menghadapi muridnya yang bandel.

"A-aku tidak..." namun meski sudah terpojok, Dowoon masih berusaha untuk memberi jawaban yang tidak membuat orang lain cemas.

"Kim Dowoon~" penekanan Kevin pada kata-katanya terdengar semakin nyata disusul senyum di wajah yang mulai tidak bisa menutupi kejengkelan dari sorot matanya.

"A-anu...aku tidak..." nyali Dowoon juga makin ciut. "M-maaf, Hyung..." pada akhirnya pemuda itu menyerah, ia menarik selimut untuk ditutupkan pada separuh wajah yang sepasang mata bulatnya telah berkaca-kaca.

Kevin lantas membuang napas keras. "Aku 'kan sudah berulang kali bilang padamu untuk tidak menyembunyikan apapun dariku. Aku ini psikiater-mu dan aku berhak tahu setiap masalah yang kau hadapi jika itu berpengaruh pada kondisi kesehatanmu. Dowoon-ah, kau ingin sembuh 'kan?" dokter tersebut mulai gusar.

Di bawah selimut, Dowoon hanya berani menganggukkan kepala.

"Kalau begitu jangan sekali-kali kau berusaha berbohong lagi padaku. Jujur saja kalau memang ada masalah." Kevin melanjutkan mengomel.

"Ne, Hyung..." desis pemuda yang berbaring di tempat tidur. "Maafkan aku..."

"Daripada minta maaf--" ketegasan masih belum hilang dari intonasi ucapan sang dokter. "--aku lebih senang kau membuka diri dan tidak menyimpan sendiri masalahmu. Kau harus tahu kalau kebiasaanmu yang satu itu selalu menjadi sumber utama setiap penyakit dan tekanan batin yang kau alami."

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang