Pieces 35

858 160 29
                                    

Dowoon menghela napas panjang sambil berbaring di ranjang queen size dalam kamar apartemen elite yang jendela-jendela lebarnya dibiarkan tertutup rapat oleh tirai tebal. Pemuda itu tengah berkabung atas ponsel yang ternyata benar-benar tak mau menyala meski dia sudah melakukan berbagai usaha menghidupkan power-nya.

Bagaimana ini? Papa pasti marah kalau aku minta dibeli ponsel baru. Apalagi, aku tidak tahu dimana harus beli ponsel di Amerika. Ah, eotteoke...? Batin Dowoon galau sembari menatap ponsel hitam yang membisu padam di tangannya.

Tok, tok, tok. Suara ketukan yang mendadak terdengar dari arah pintu membuat pemuda di tempat tidur terjengat menoleh.

"Ne?" seru Dowoon.

Cklek, nampak kenop diputar dan daun pintu didorong dengan pelan dari luar hingga terbuka memperlihatkan wajah Wonpil yang kemudian menyunggingkan senyum kecil.

"Kau tidak tidur?" tanya gadis mungil sembari melangkahkan kaki memasuki kamar adiknya. Dowoon bangkit dari rebahan, duduk di matras ranjang.

"Tidak ngantuk," ia menjawab.

Wonpil kemudian memandang ponsel yang dipegang pemuda itu. "Jadinya, ponselmu sama sekali tidak bisa menyala lagi?" ia mendesis.

Dowoon mengangguk lesu. Kepalanya menunduk dengan bibir sedikit cemberut maju. "Sudah rusak. Ponselku pertamaku sejak SMA."

Dengan hati-hati Wonpil merebahkan pantat di tepi ranjang, sebelah tangannya berada di perut, memegangi dan mengusap protektif kandungan tersebut.

"Tenang saja. Pasti masih bisa diperbaiki. Aku akan minta Jae membawanya ke tempat reparasi nanti," hibur wanita bermata bulat.

"Tidak usah," Dowoon makin cemberut. "Biarkan saja. Aku tidak mau meliha---membuat kakak ipar repot," ia mendengus.

Wonpil mengulum senyum kecil. "Kau masih marah pada Jae?" tanyanya hati-hati.

"Tidak!" itu jawaban Dowoon, namun dari nada suaranya yang menyentak mana bisa sang kakak percaya begitu saja.

"Mana berhak aku marah ke Hyungnim. 'Kan aku yang salah!" pemuda bermata bulat jadi merajuk.

"Dowoon-ah," tutur Wonpil lembut. "Maaf ya. Kami tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman."

"Noona tak perlu minta maaf. Sudah ku bilang ini salahku!" tukas sang adik.

"Jangan terlalu mengambil hati kata-kata Jae. Kau tahu sendiri bagaimana karakternya, memang kadang ucapannya tajam tapi percayalah kalau dia tidak pernah berniat buruk. Dia hanya ingin memberitahumu sesuatu, mengajarimu sesuatu, meski caranya memang berbeda," Wonpil mencoba menasehati.

Dowoon terdiam.

"Adikku 'kan sangat pintar, baik hati, dan pengertian pada orang lain. Aku yakin kau juga tahu niat Jae itu. Iya 'kan?" gadis mungil meraih tangan lelaki yang lebih muda dan menggenggamnya hangat.

Dowoon menghela napas dalam.

"Jae Hyungnim...kalau marah jadi menyebalkan," desis pemuda tersebut. "Aku tidak suka."

Wonpil tersenyum, terbersit perasaan lega dari sorot matanya sebab dapat mendengar kejujuran dari bibir sang adik. Dengan begitu tak ada lagi yang dipendam Dowoon, tak ada lagi yang membebani hatinya, dan dia tak perlu menyimpan kemarahan ataupun kekecewaan yang nantinya dapat menyakiti diri sendiri. Kalau ia mengutarakan perasaannya begini, maka Wonpil pun akan turut mengerti dan memahami keadaan, lalu bisa mengusahakan cara untuk membantu menyelesaikan salah paham yang ada. Terkesan sederhana, tapi komunikasi seperti itu memang selalu mempunyai peran yang penting.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang