Pieces 17

1.2K 196 52
                                    

Dowoon mengerutkan kening sambil jari tangannya tak henti mengetuk layar ponsel. Sesekali pemuda itu akan menelengkan kepala dan mengesah pelan lalu kembali mengusap permukaan smartphone.

"Dowoon-ah," sebuah panggilan membuat kepala berambut hitam menoleh cepat.

"Ne?" Dowoon merosot turun dari tempat tidur, menoleh pada Kevin yang baru saja berjalan memasuki kamar inapnya.

"Sudah siap pulang?" Tanya sang dokter sambil tersenyum, dibalas anggukan cepat oleh pasiennya.

Dowoon memang sudah sembuh dari jetlag sejak kemarin sore, dia juga mulai mau menghabiskan makanannya dan bisa tidur nyenyak setelah matahari terbenam. Pagi ini selang infus pemuda tersebut dilepas, ia diijinkan membersihkan diri lalu menunggu hingga nanti Jaehyung menjemputnya.

"Kalau nanti sudah sampai rumah, pastikan kau selalu istirahat cukup dan makan teratur. Jangan lupa juga minum obatnya," pesan Kevin.

"Ne," kembali Dowoon mengangguk dengan wajah cerah, merasa senang akhirnya bisa keluar dari rumah sakit dan lebih gembira lagi sebab dia akan bertemu Wonpil.

"Jangan sungkan untuk menceritakan apapun yang sekiranya mengganggu pikiran atau membuat hatimu tidak nyaman. Baik padaku atau pada Jae. Jangan dipendam sendiri, meski sedikit bagilah dengan orang lain supaya kau juga tidak merasa tertekan. Kunci dari mengatasi PTSD adalah pikiran dan hatimu, jika keduanya kuat aku yakin kau pasti bisa segera melewati ini semua," imbuh dokter berwajah kecil. Nada suaranya lembut dan begitu enak didengar bagai seorang ayah sedang menjelaskan hal baru pada buah hatinya yang masih kanak-kanak.

"Ne, Hyung. Hehe," sekali lagi pemuda beriris coklat yang berdiri di depan sang dokter menganggukkan kepala. Senyumnya tersungging lebar dengan sepasang mata berbinar cemerlang.

"Uwu, cutie~" Kevin tak dapat menahan rasa gemas dan berakhir dengan mengulurkan tangan untuk mengusak puncak kepala Dowoon sampai membuat laki-laki yang lebih muda terkekeh lagi.

"Ah, inhaler. Selalu bawa itu kemanapun kau pergi. Jangan lupa. Jangan ketinggalan. Jangan hilang," sang dokter teringat.

"Siap! Akan selalu aku bawa, Hyung," ujar Dowoon mengambil alat pereda sesak napas dari saku jaketnya.

"Good! Karena gejala awal serangan panikmu adalah sesak napas, kau bisa meredakannya dengan inhaler daripada harus menelan obat saat itu juga." Kevin tersenyum. "Tapi kalau kau sudah profesional (seperti Jaehyung) aku yakin kau akan bisa langsung memakan obat tanpa kesulitan."

Pemuda bermata bulat nyengir. "Aku pakai ini saja..." dia mencicit, sejatinya juga kurang suka kalau harus terus minum obat yang terasa pahit di lidah.

Dokternya terkekeh. "OK, then. Terus semangat ya, Dowoonie~"

"Eum!"

"Sensei," mendadak perawat memanggil dari pintu kamar menyela pembicaraan kedua lelaki tersebut.

"Like I always said before--" desis Kevin. "Stop calling me 'Sensei' here, it is USA."

"Ah, gomenna--I mean sorry," ujar perawat asal Jepang itu dengan lidah multilingual yang belepotan. "Jae-san is here." Dia menggeser badan, memberi spasi pada seorang pria tinggi yang kemudian berjalan masuk ruangan.

"Morning," Jaehyung menyapa Kevin.

"Good morning too," dokter berambut light brown dengan sepasang mata sipit oriental membalas sambil menyunggingkan senyum puas. "I'm glad you didn't forget your greeting."

"Stop fussing about little thing, Kev. Can you?" Desis lelaki tinggi dengan helaan napas.

"Nope." Temannya menyambar ringan. "It's part of manners so I will be strict with you." Kalimat barusan punya kesan yang galak namun Kevin justru mengatakannya dengan wajah penuh senyum, malah seperti sedang menyindir. Jaehyung yang sudah hapal dengan watak dokter satu itu hanya kembali membuang napas gusar.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang