Angin bertiup dingin saat aku melewati undakan batu menuju pondok Hagrid. Pemeliharaan Satwa Gaib masih saja sepi peminat karean tidak ada satupun yang berubah pikiran untuk memilih kelas Hagrid di tahun ke tujuh mereka. Meskipun begitu, Hagrid tidak patah semangat, dengan senyum sumringah, dia menyambutku di halaman pondoknya. Beberapa meter darinya, berdiri seekor Unicon putih cemerlang bertambat di pohon terdekat, kulitnya sangat kontras dengan tanah coklat di bawah kakinya yang menunjukkan kuku jari berwarna emas, jejak terakhir dari masa mudanya mulai terkelupas.
Seekor anak Unicorn keemasan yang tingginya tidak lebih dari pundakku terlihat setia menempel pada induknya walaupun tidak di kekang dengan tali. Surainya yang panjang tidak berhasil menutup matanya. Kepalanya selalu bergerak ke sana-sini untuk mencari ibunya yang bahkan tidak bisa menjauh barang satu meter pun.
“Selamat datang di kelasku, nak.” kata Hagrid berusaha seformal yang ia bisa. Mungkin karena peraturan tebaru sekolah yang membuat seluruh sudut sekolah layaknya kantor pengawasan sehingga tindakan aneh guru-guru yang mencurigakan—seperti yang diketahui melawan Kau-Tahu-Siapa—akan memiliki pengawasan di mana pun, bahkan walaupun mereka tidak terlihat diawasi.
“Halo, Hagrid. Bagaimana musim panasmu?” sapaku biasa.
“Well, kau tahu bagaimana,” jawab Hagrid sambil mengibaskan tangannya yang sebesar tutup tong sampah.
Aku tertawa kering. “jadi, apa pelajran baru kali ini?” aku mengalihkan pembicaraan. “Unicorn?”
Senyum Hagrid seketika muncul. “Yeah, seperti yang kau lihat. Kita memiliki dua Unicorn, yang ini Betty,” tangan Hagrid mendekati Unicorn dewasa yang tertambat dan bergerak seakan mengelus surai putihnya walaupun tangannya melayang di udara tanpa benar-benar menyentuhnya. “dan yang kecil ini Arion.”
Hagrid menunjuk Unicorn yang lebih kecil. Unicorn itu berjengit senang seakan tahu namanya disebut, tanpa malu seperti Unicorn kebanyakan, Arion mendekati tangan Hagrid, membiarkan tangan besar Hagrid menyentuh puncak kepalanya.
“seperti yang kau lihat, dia sedikit aneh.” Kata Hagrid kemudian berjongkok untuk menyentuh kepala Unicorn itu dengan kedua tangannya. “dia sedikit jinak.”
Aku tertawa pelan. Ini merupakan kedua kalinya aku melihat Unicorn sungguhan, aku masih belum terbiasa melihat makhluk mengagumkan itu. Surai mereka yang seputih salju terlihat elegan di atas tanah berlumpur.
“Jadi proyek tahun ini adalah bagaimana merawat Unicorn.” Tanyaku tanpa ragu.
“Seperti yang kau lihat. Ya, itu sempurna untuk tahun ketujuhmu dan karena kita hanya memiliki satu anak Unicorn, jadi aku harap kau melakukannya dengan penuh perhatian.” Ungkap Hagrid menggiringku untuk menyentuh puncak kepala Arion.
“Tentu saja.” Kataku senang. “Suatu kehormatan bagiku dapat merawat mereka dan mencatat perkembangannya selama setaun penuh.”
Setelah menghabiskan satu jam penuh dengan membahas apa yang baik dan tidak aku lakukaan saat merawat Unicorn, suara bel dari kastil membuatku malangkah menjauhi pondok Hagrid. Aku memiliki waktu kosong selama satu jam sebelum pelajaran Ilmu Hitam dimulai. Ya, Ilmu Hitam.
Carrow bersaudara dengan sangat mengejutkan mulai mengajar di Hogwarts. Tentu saja itu menunjukan Kementerian sudah berada di tangan para Pelahap Maut dan juga bukti Snape tidak lagi berpihak pada Orde. Alecto Carrow mengajar Studi Muggle atau lebih tepatnya mengajarkan para murid kelas satu dan dua bagaimana membenci para Muggle. Amycuss Carrow mengajar Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang malah tidak pantas lagi disebut dengan Pertahanan karena kami sendiri saling melemparkan kutukan tak termaafkan kepada teman kami.
“Hei, Neville!” sapaku saat melihat Neville di Aula Depan.
“o-ooh, He-hey, Safera.” Balas Neville tergagap,membuatku mengerut kening heran.
“ada apa denganmu?” aku berjalan menghampirinya, Neville mundur satu lagkah menghindariku sehingga aku berhenti untuk memberikan jarak di antara kami. “ada apa?”“Safe.” Neville terdengar tidak yakin. “Apa kau sungguh menjadi Head girl?” mata Neville menyapu jubahku.
Aku bergerak tidak nyaman mengambil lencana yang berada di dalam kantong jubahku dan menunjukkannya pada Neville. “aku tidak pernah nyaman menggunakannya.” Terangku. “aku tidak dapat menolaknya saat Snape memberikannya padaku.”
“Sn-Snape memberikannya padamu?” Neville masih terdengar tidak yakin.
“Yeah, dia seperti menutup mata bahwa aku menentang para Pelahap Maut.”
“Kau sungguh tidak berada di pihak mereka?” Neville menghindari tatapanku.
“Kau meragukanku?” aku melangkah mendekati Neville tanpa ragu. “setelah banyaknya pertarungan yang kita lewati?” tersemat kekecewaan di dalam suaraku.
Neville menelan ludahnya. “ak-aku dengar kau mendapatkan lencana itu karena Draco.” Kata Neville ragu.
“Ya, dan karena itu aku tidak pernah nyaman membawa lencana ini.” Jelasku tajam. “aku tidak percaya kau meragukanku Neville. Hanya beberapa dari anggota DA yang kembali ke sekolah, tidak seharusnya kita meragukan satu sama lain.”
Neville sedikit membuka mulutnya karena terkejut. “Ak-aku tidak bermaksud.”
“Kau tidak salah." Kataku sepenuhnya kecewa. "Anggap pembicaraan ini tidak pernah terjadi.” Kataku meninggalkannya.
“Safera!”
Aku mengbaikan panggilan Neville menuju perpustakaan. Setidaknya aku tahu bahwa sedikit murid yang akan menghabiskan waktu mereka di sana. Tanpa sadar air mataku menetes saat menaiki anak tangga. Aku tidak pernah meragukan kesetiaan orang lain, bahkan sebelum Dumbledore meninggal pun, aku masih memiliki kepercayaan pada Snape. Bahwa dia benar-benar memihak kami. Tapi bagaimana bisa Neville maragukan kesetiaanku karena sebuah lencana?
BUK.
Seseorang menabrak tubuhku saat aku berlari kecil di koridor.
“Sorry.” Gumamku menghapus jejak air mata dengan berpura-pura merapihkan jubah.
“Aku mencarimu.” Kata orang yang menabrakku. Aku menringis mendengar suaranya karena Draco adalah orang yang ingin aku hindari hari ini, atau mungkin satu minggu kedepan dan kalau perlu sampai aku lulus dari sekolah. “aku ingin memberikan jadwal patroli.” katanya lagi.
Draco menyerahkan selembar perkamen padaku. Aku masih menunduk untuk menghindari tatapannya. Apa dia tidak merasa aneh karena percakapan kita terakhir?
“kau akan berpasangan denganku saat patroli malam karena kau tidak pernah menjadi Prafek, jadi aku akan membantumu.” Jelas Draco. Tentu saja, dia pasti sengaja membuat jadwal itu.
Aku mengambil perkamen dari tangan Draco, meremasnya dalam ganggamanku dan melangkah manjauh namun tangan Draco memegang siku kananku.
“Kenapa kau tidak memeriksa jadwalnya?” tanya Draco dengan mata melihat ke perkamen yang baru saja aku remas menjadi kecil.
Aku memutar bola mataku jengah. “aku akan membacanya nanti.” Aku berusaha melepaskan tanganku dari Draco namun ia semakin mencengkram tanganku.
“Kau bisa bertanya padaku jika ada yang kurang jelas.”
Aku memejamkan mataku selama tiga detik untuk meredakan amarah. “Aku bisa menanyakannya pada Ernie, jadi aku tidak perlu menyibukan diriku untuk mencarimu.”
Draco masih belum melepaskan tanganku. “tapi aku pasangan patrolimu.”
“Kalau begitu jangan jadikan aku pasanganmu!” aku menghentakkan tanganku dengan kesal. Neville sudah cukup membuat hariku buruk dan bertemu Draco semakin membuat mendung seluruh hariku.
Draco terkejut namun raut wajahnya melembut saat mata kami bertemu. “Apa terjadi sesuatu? Kau menangis.” Draco maju satu langkah, mencoba menggapai wajahku dengan tangan kanannya.
Aku bergerak untuk menghindari tangannya walau mataku masih menatapnya marah.
“Kau bisa menceritakannya padaku. Aku akan mendengarkanmu.” Draco berhasil maju satu langkah lagi dan menggapai wajahku, mengusap jejak air mata yang sudah kering dengan ibu jarinya.
Aku masih teridam. Perlakuan Draco mengingatkanku pada Fred. Aku merindukan Fred.
“Hey, ada apa?” tanya Draco lembut, ia menyandarkan kedua tangannya di pundakku.
“Go!” kataku, membuat Draco terkejut. “Go away!” aku melepaskan tangan Draco dari tubuhku.
“Safe, kita dapat membicarakannya.” Draco menangkup kedua pipiku.
“Bicara?” aku menampis kedua tangan Draco. “Bagaimana kita bisa bicara jika kau sumber masalahnya?” nada suaraku meninggi.
“aku tidak mengerti.”
“Bagaimana kau bisa mengerti jika kau salah satu dari mereka?”
Draco terdiam mendengar kalimatku, menatapku dengan nanar.
“Kau masih tidak mengerti? Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Aku tidak mengerti kenapa aku harus menjadi Head Girl. Aku tidak mengerti, kenapa harus aku?”
Draco tida-tiba memelukku, aku berusaha melepaskannya sayangnya tenagaku tidak sebanding dengannya. “karena kau spesial, Safe.” Aku mencoba untuk menghindar namun pelukannya semakin erat. “karena kau spesial bagiku, aku tidak ingin siapapun di kastil ini melukaimu.”
“Lepaskan aku!”
“Tidak.”
“aku bilang, lepas!”
“I love you.”
“LEPAS!” aku mendorong tubuh Draco dengan sekuat tenaga sehingga ia melepaskan pelukannya. “aku tidak butuh itu. aku tidak ingin menjadi spesial di mata siapa pun. I don't need it.”
Mata Draco terluka menatapku.
“aku juga tidak butuh ini.” Aku melemparkan remasan perkamen yang Draco berikan sebelumnya kemudian merogoh kantong jubahku. “dan juga ini.” Aku melemparkan lencana Head Girl tepat ke dadanya kemudian memantul dan berdenting di atas lantai batu. “Pengamanan apapun yang kau tawarkan padaku, semua perlindungan yang kau berikan padaku, aku tidak mebutuhkannya.”
“Tapi, Safe…”“Aku bisa menjaga diriku sendiri!” raungku menggema di koridor yang sepi.

KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH
FanfictionAncaman. Itulah yang dapat mendeskripsikan tahun ini. Siapa yang akan mengira Kau-Tahu-Siapa akhirnya kembali berkuasa setelah tujuh belas tahun menghilang? Tidak, dia bahkan tidak menghilang. Dia hanya bersembunyi selama tujuh belas tahun terakhir...