31. DIGGORY

265 59 6
                                    

Limbung dan terjatuh. Ini adalah salah satu aparasi terburuk yang aku lakukan. Banyak keterkejutan yang membuatku sulit untuk fokus, ungkapan perasaan Malfoy, Luna yang tertangkap, anggota DA lainnya mungkin tidak akan aman lagi. Sulit memikirkan bagaimana kondisi anak-anak Hogwarts lainnya setelah melihatku melompat dari Hogwarts Ekspres. Hantaman lainnya datang dari cuaca yang sangat dingin. Sialnya, aku hanya mengenakan dua lapis pakaian tanpa mantel dan itu berhasil membuatku menggigil.

Aku merogoh tas kulit moke milikku. Untung saja aku tidak pernah melepaskan tas itu kemana pun aku pergi. Aku masih merogoh tasku namun tidak menemukan satu benda pun yang dapat membuatku merasa lebih hangat. Sialnya, mungkin karena aku meninggalkan semua pakaianku di dalam koper. Aku tidak berpikir Pelahap Maut akan mencariku di dalam kereta.
 
Aku menghela napas dan memeluk tubuhku untuk mendekati pondok terdekat. Pondok pertama yang aku pikirkan sebagai tempat paling aman saat ini. Jendela besar membingkai dapur kecil yang terlihat sepi. Bunga geranium tampak mati di bawah jendela, entah karena cuaca yang membeku atau pemiliknya yang sudah tidak mempedulikan tempat itu.
 
Aku mengeluarkan tongkatku, menyihir semak belukar untuk tumbuh tepat di bawah jendela kemudian menyembunyikan diriku di dalamnya. Aku  mengayunkan kembali tongkatku sehingga jendela dapur terbuka membuat udara dingin menabrak suhu hangat dapur.
 
Aku menajamkan telingaku, menunggu tiga puluh detik yang panjang namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam pondok. Aku memutuskan melompat dari jendela karena tidak tahan dengan suhu dingin yang menusuk. Berjalan pelan dan memastikan pintu kamar di lantai satu tertutup rapat. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan membukanya, bisa saja siapa pun muncul dari dalam sana yang dapat mengejutkanku.
 
Perlahan, melewati ruang tengah yang kosong di mana terdapat bingkai bersar di atas perapian. Cedric tersenyum di potret besar itu diapit oleh ke dua orang tuanya. Kemudian berjalan sepanjang lorong melewati lemari kaca yang menyimpan puluhan potretku dan Cedric, menjadi saksi bisu pertumbuhan kami.
 
Aku menaiki tangga dengan cepat karena pondok ini bukanlah tempat asing. Dengan terburu-buru aku memasuki kamar Cedric yang sudah tidak asing bagiku. Kamar itu tampak masih sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Secepat mungkin menyerbu lemari Cedric yang tidak asing lagi bagiku, membuka lemari yang memiliki deretan banyak baju hangat di dalamnya, aku hanya meninggalkan beberapa helai pakaian di sini, di kamar ini sejak liburan terakhirku yang bahkan aku tidak ingat kapan walaupun begitu, aku tetap memasukan sweater, kaos, jeans, kupluk bahkan scarf ke dalam tas kulit moke, tidak peduli jika sebagian besar adalah milik Cedric.
 
Selesai dengan lemari, aku menyerbu meja di sebelah tempat tidur Cedric di mana kami biasa menyimpan makanan ataupun cemilan sebelum tidur. Aku hanya mendapatkan sebutir permen Muggle yang lengket, jelas peninggalan terakhir Cedric saat kembali ke Kingcross. Aku melempar permen itu kembali ke dalam laci lalu merebahkan diriku di atas kasur. Aku akan merindukan tempat ini kedepannya, menggenapi semua perasaanku untuk merindukan Cedric dan kenyamanan kasur yang mungkin beberapa bulan atau beberapa tahun kedepan tidak akan aku rasakan. Aku memeluk bantal Cedric, jejak tubuh Cedric masih dapat aku rasakan meski sudah bertahun-tahun ia meninggal.
 
“aku tahu seseorang masuk ke rumah kita.” Sayup-sayup aku mendengar suara Mr Diggory dari ujung tangga. Aku ku menegapkan tubuhku dan berjalan mengendap menuju pintu. “kau tidak mungkin membuka jendela dapur di cuaca sedingin ini.”
 
Aku mehanan napas. Aku lupa menutup kembali jendela dapur. Sungguh aku memiliki nilai nol dalam menerobos rumah orang lain.
 
“aku membuka jendela itu.” sahut Mrs Diggory meyakinkan suaminya.
 
“Kau pikir aku bodoh? Kau tadi bersamaku, bagaimana kau membuka jendela itu?” terdenger suara rusuh dua langkah kaki yang terburu-buru menaiku anak tangga.
 
Please, please, Amos.” Suara Mrs Diggory berada di depan pintu kamar, “Bisakah kita sekali saja menutup mata?” Mrs Diggory memohon.
 
Aku melambaikan tongkatku ke mantel terkhir Cedric yang masih tergantung di dalam lemari dan menyelimuti tubuhku. Mungkin ini saatnya untuk pergi.
 
“karena kita tidak bisa menutup mata begitu saja, kita harus memastikan keadaannya.” Tolak Mr Diggory.
 
“Pelahap Maut akan menyiksa kita jika mereka tahu di ada di rumah ini.”
 
“Tapi bagaimana jika dia terluka?”

Hening sejenak.

Jadi, para Pelahap Maut sudah datang ke sini sebelum mereka mencariku di Hogwarts Ekspress?

“kita harus memastikannya dalam keadaan sehat dan utuh.” Kata Mr Diggory lagi.
 
Sejenak dilema kembali melandaku, di tempat aman ini, bisa saja aku membuuat  Mr dan Mrs Diggory dalam bahaya. Aku tidak bisa terus-menerus di sini. Lagipula, aku harus terus bergerak karena aku sudah masuk ke daftar buronan Pelahap Maut. Aku tidak bisa bersembunyi.
 
Aku membuka jendela kamar Cedric, membuat salju berhamburan berebut untuk membuat suhu ruangan menurun tepat saat pintu kamar terbuka.
 
Hallo, Mr Diggory.” Sapaku namun tidak membuat mereka terkejut. Aku mengayunkan tongkatku membuat  mereka membeku di tempat mereka berdiri. Lambaian lain membuat beberapa canapé, pai, croissant dan botol-botol minuman beterbangan melewati atas kepala mereka lalu berakhir masuk kedalam tas kulit moke milikku. “Terima kasih atas makanannya.” Aku berusaha untuk tersenyum walau penglihatanku memburam karena air mata. “aku sehat…” aku mendekati jendela bersiap melompat, “…dan utuh. Maaf membuat kalian khawatir, aku baik-baik saja dan bisa menjaga diriku sendiri.”
 
Aku melambaikan tongkatku untuk melepaskan kutukan Mr dan Mrs Diggory dan detik berikutnya melompat menuju salju dingin.

Aku melihat wajah khawatir Mr dan Mrs Diggory di ambang jendela, Mr Diggory memanggil namaku pelan, sementara air mata Mrs Diggory sudah menetes. Kemudian aku ber-aparasi menuju tempat dingin lainnya.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang