24. RUANG HUKUMAN

286 68 5
                                    

Aku dan Ernie kembali menyantap makan malam kami. Untuk pertama kalinya, aku tidak menikmati makan malam di Hogwarts, seakan daging panggang tidak lagi menarik, kue dan buah tidak lagi tampak lezat. Pikiran akan ucapan Draco kembali menguasai kepalaku. Bagaimana jika dia benar-benar melakukan detensi pada anak lain hanya karena aku tidak bergabung deannya dalam patroli malam?
 
Tidak, Daco tidak mungkin tega melakukan itu. tapi dia bahkan membunuh Dumbledore. Dia bisa saja melakukan itu, dengan Carrow bersaudara di belakangnya. Demi Merlin, apa yang harus aku lakukan? Tidak, tidak. Aku tidak ingin menjadi yang orang terkena detensi, itu mungkin bisa menempatkan Ayah yang sekarang bekerja di Kementerian dalam bahaya. Tapi juga  aku juga tidak ingin menampatkan teman-temanku dalam detensi.
 
Aku menarik napas panjang setelah memutuskan pilihan dan berdiri.
 
Ernie yang masih duduk di sampingku berjengit pelan sebelum akhirnya mengadah melihatku. “Kau akan pergi?” tanyanya.

Aku mengangguk yakin.
 
“Oke, ini hanya patroli biasa, Safe. Dia tidak akan menyuruhmu masuk ke Hutan Terlarang.”
 
Aku mengangguk setuju. “Ini hanya patroli malam.” Yakinku.
 
“Tidak akan ada apapun.” Kata Ernie lagi.
 
“Tidak akan ada apapun.” Ulangku.
 
“Kau akan baik saja, Safe.” Kata Ernie.
 
Aku mengangguk untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan Ernie di meja Hufflepuff.
 
Draco berdiri dengan angkuh di Aula Depan, lencana Headboy bertengger mencolok di dada kirinya. Wajahnya angkuh menatap keluar jendela, rambut pirangnya menonjol melawan kegelapan malam. Kedua tangannya masih berada di dalam saku celana, semakin menunjukan betapa angkuhnya Draco malam ini. Ia berbalik saat mendengar langkahku mendekat, senyum miring terukir di bibirnya begitu melihatku.
 
“pakai ini.” Draco mengeluarkan lencana Headgirl berwarna kuning. Lencanaku, yang teakhir kali aku lempar ke dada Draco. “pakai atau aku yang anak menamatkannya sendiri di jubahmu.” Bisik Draco saat tangannya menarik paksa tanganku untuk menerima lencana itu.
 
Alisku berkerut setengah kesal. Aku menamatkan lencana Headgirl di jubahku dan berjalan mengikuti  Draco menuju tangga utama.
 
“kita akan memeriksa beberapa tempat persembunyian para murid.” Kata Draco menjelaskan  dengan kaki terus melangkah. “beberapa anak mungkin akan menggunakan ruangan bermain yang sudah tidak terpakai untuk bersembunyi tengah malam, yang lainnya akan membuat perisai tidak terlihat di kelas kosong. Tugas kita adalah memastikan tidak ada satu pun mantera yang digunakan di ruangan itu untuk bersembunyi.”
 
“untuk apa mereka bersembunyi?” tanyaku.
 
“terhindar dari detensi.”
 
“tidak, maksudku,” Draco menghentikan langkahnya membuatku hampir menubruk punggungnya. “maksudku untuk apa mereka keluar saat jam malam, sekolah sudah cukup ketat, kenapa mereka memilih kaluar untuk bersembunyi dibanding berdiam di kamar mereka yang nyaman?”
 
“seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri, Safera.” Kata Draco membalik tubuhnya sehingga mata kami bertemu. “aku hampir tidak bisa menghitung berapa kali menemukanmu mengendap-endap di malam hari.”
 
Aku melepas kontak mata dengan Draco. “Well, itu sebelum kastil berubah. Kau tahu, dulu bermain kucing-kucingan dengan Filch sangat menyenangkan. Kau tahu sendiri jika kita melakukannya sekarang, kata Pel—“
 
“Kita akan ke sayap kiri kastil.” Potong Draco, berjalan cepat meninggalkanku yang terbengong. Apa ini yang namanya patroli? Dia bahkan meninggalkanku.
 
Aku dan Draco menyusuri lorong demi lorong, kelas demi kelas, ruangan kecil hingga kelas besar namun tidak sekalipun kami mendapatkan hal yang aneh, bunyi berisik yang tiba-tiba senyap, mantera tersembunyi, atau sebuah bayangan berlarian.
 
“aku rasa mereka yang bersembunyi sudah menemukan kita lebih dulu.” Keluhku saat kami membuka ruang peralatan Filch yang berisi beberapa emper dan alat pel. “atau mereka sudah merubah diri mereka menjadi sapu.”
 
“para guru memintaku untuk memeriksa seluruh sudut sekolah di malam hari.” Jelas Draco kembali berjalan meninggalkan ruang peralatan.
 
“Oh ya, para guru?  Atau para Carrows?”
 
“mereka tetap guru di sekolah ini.”
 
“terima kasih sudah mengingatkan.” Gumamku sarkas. “sampai kapan kita akan berkeliling? Aku tidak pernah ingat patroli malam mengharuskan kita berkeliling sampai pagi.”
 
“Ide bagus. Kita bisa berkeliling sampai matahari terbit.” Cemooh Draco.
 
Aku membelalakan mataku pada Draco, sementara senyum liciknya msih mengembang. “gurumu pasti sangat bangga denganmu. Malfoy yang berdedikasi.”  Malfoy menarik napasnya, menahan marahnya yang selama malam berjalan terbakar oleh kalimat dan cemohonan dariku. Kabar baiknya, dia belum melemparkan kutukan apapun padaku. Sebuah pencapaian yang luar biasa.
 
Aku membuka satu ruangan klub tidak terpakai. Sarang laba-laba berada diantara tumpukan meja dan kursi. Terdapat papan tulis yang tidak lagi dapat ditahan di dinding batu sehingga hanya tertempel miring di sana. Draco ikut mengintip ke dalam ruangan itu, tidak membiarkan satu lubang tikus pun luput dari pandangannya.
 
“apa lagi yang gurumu minta, Malfoy? Mengecek sela dinding, mungkin Harry sedang mengintip kita dari sana.”
 
“Yeah, ada satu tempat.” Kata Draco menutup pintu ruangan klub. “ruangan di mana para guru memintaku memeriksanya, ruangan di mana aku akan menyembunyikan Potter atau siapa pun yang melanggar aturan.”
 
“Apa?” tanyaku tidak percaya.
 
“Kau mau melihatnya?”
 
Tanpa aba-aba, Draco menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku rasa ini tidak baik. Aku setengah terseret di lorong. Tidak sempat berpegangan pada dinding saat kaki kami terus menuruni tangga tanpa henti sampai jendela besar yang menunjukan langit malam berganti menjadi dinding-dinding batu tanpa lukisan. Aku brsumpah melihat lumut di sudut tangga yang kami turuni. Bau lembab sangat pekat. Beberapa kali aku hampir tergelincir namun Draco berhasil menyeimbangkan tubuhku sehingga kami terus menuruni tangga.
 
Aku belum sempat bertaya sampai akhirnya kami sampai ujung anak tangga. Pintu besi besar tanpa pegangan berada tepat di depan kami.
 
“T-tempat apa ini?” tanyaku terbata.
 
Draco tidka mempedulikannya. Ia mendorong pintu besi hingga terbuka. Tidak ada cahaya di dalam ruangan itu. hanya kegelapan sampai akhirnya Draco mengeluarkan tongkatnya dan cahaya muncul dari sana.
 
Aku memalingkan wajahku melihat sekeliling. Cahaya redup ujung tongkat Draco memperlihatkan ruang yang tidak seberapa besar, mungkin hanya menampung sepuluh meja belajar, meskipun tidak ada meja ataupun kursi di sini. Hanya beberapa tiang setinggi tiga meter di beberapa titik dengan kayu horizontal menempel sehingga membentuk salip raksasa seukuran manusia. Ada rantai besi di dinding setiap dua meter.
 
“Selamat datang di ruang detensi.” Kata Draco dengan senyum paling licik yang pernah aku lihat.
 

Aku tanpa sadar meneteskan air mata. Aku tidak sanggup membayangkan seseorang terikat di salah satu tiang, atau di rantai di dinding. Bagaimana mungkin mereka tega mengurung murid di bawah umur disini dan tanpa cahaya?

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang