54. RUMAH MALFOY

300 64 1
                                        

Mereka ber-disapparate, menarik para tahanan bersama mereka. Aku dan Harry berjuang, berusaha melepaskan tangan Greyback, tapi sia-sia. Ron dan Hermione ditekan kuat ke arah kami dari sisi yang lain. Kami tidak bisa memisahkan diri dari kelompok.

Kami bertubrukan satu sama lain saat mendarat di sebuah pedesaan. Sepasang gerbang dari besi tempa di ujung yang terlihat seperti jalan panang.
 
Salah satu penjambret berjalan menuju gerbang dan mengguncangnya. “Bagaimana kita masuk? Pintunya dikunci, Greyback, aku tak bisa –blimey!” Dia menyentakkan tangannya ketakutan.
 
Besi pagar itu menyeringai, membelit sendiri dari bentuk gulungan dan lilitan abstrak menjadi bentuk wajah menakutkan, yang berbicara dalam suara berdentang dan bergema. “Nyatakan tujuanmu!”
 
“Kami dapat Potter!” Greyback meraung senang. “Kami menangkap Harry Potter!”
 
Gerbangnya terbuka.
 
“Ayo!” kata Greyback pada orang-orangnya, dan kami, para tahanan diseret melewati gerbang ke arah jalan, diantara pagar tanaman tinggi yang meredamkan langkah kami. Merak albino yang terlihat seperti sosok putih bagai hantu berada di atas kami.
 
Kami didorong ke atas batu kerikil. Cahaya menerangi kami semua.
 
“Apa ini?” ujar sebuah suara dingin wanita.
 
“Kami di sini untuk bertemu Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut!” teriak Greyback parau.
 
“Siapa kau?”
 
“Kau tak kenal aku!” terdengar kejengkelan dalam suara manusia serigalanya. “Fenrir Greyback! Kami menangkap Harry Potter!” Greyback menangkap Harry dan menyeretnya agar menghadap cahaya, memaksa tahanan lain ikut terseret juga.
 
"Aku ta'u dia bengkak, Ma'am, tapi ini dia!" teriak Scabior. "Kalau Anda melihat lebih dekat, Anda bisa lihat bekas lukanya. Dan ini, lihat perempuan ini? Darah Lumpur yang diketahui bepergian dengan Harry Potter, Ma'am. Tidak ragu lagi, ini dia, dan kita dapat tongkatnya juga! Ini, Ma'am—“
 
Narcissa Malfoy meneliti dengan cermat. Scabior menyodorkan tongkat blackthorn padanya. Dia menaikkan alisnya.
 
"Bawa mereka masuk," katanya.
 
Aku dan tahanan lainnya didorong dan ditendang menaiki tangga batu lebar memasuki aula yang dindingnya penuh lukisan.
 
"Ikuti aku,"kata Narcissa, memimpin jalan melewati aula. "Anakku, Draco, ada di rumah untuk liburan Paskah. Kalau itu Harry Potter, dia akan tahu."
 
Ruang tamu terlihat menyilaukan setelah kegelapan di luar. Sebuah tempat lilin kristal tergantung di langit-langit, dan lebih banyak lagi lukisan tergantung di dinding berwarna ungu gelap. Dua sosok bangkit dari kursi di depan perapian marmer penuh hiasan dan ornamen saat kami didorong ke ruangan oleh para Pejambret.
 
“Apa ini?” suara Lucius Malfoy yang terdengar dipanjang-panjangkan. Wajahnya luar biasa sama dengan Draco, pucat dan runcing, matanya pun sama, abu-abu dingin.
 
“Mereka bilang mereka mendapat Potter,” ujar suara dingin Narcissa. “Draco, kemari.”
 
Sosok dingin yang lebih tinggi dari sebelumnya, bangun dari kursi berlengan, wajahnya yang pucat bertampang lesu dan tersamarkan dibawah rambut pirang keperakannya, sebisa mungkin aku menghindari tatapan dingin itu.
 
Greyback mendorong kami untuk berbalik lagi agar Harry berada tepat di bawah tempat lilin. “Well, nak…” kata si manusia serigala parau.
 
Harry menghadap ke sebuah cermin di seberang perapian, benda berkilau besar dengan bingkai berbelit rumit.  Harry tidak berbicara karena suaranya akan mudah dikenali dan ia masih menghindari kontak mata dengan Draco sama sepertiku.
 
Well, Draco?” kata Lucius Malfoy terdengar sangat tertarik. “apa itu dia? Apa itu Harry Potter?”
 
“Aku tidak –Aku tidak yakin,” kata Draco. dia menjaga jarak dengan Greyback dan terlihat sama takutnya seperti Harry takut melihatnya.
 
“Tapi lihat baik-baik, lihat! Ayo mendekat!” ketertarikan Lucius tidak dapat disembunyikan. “Draco, kalau kita orang yang menyerahkan Harry Potter pada Pangeran Kegelapan, semua akan dimaaf—“
 
“sekarang, kita tak akan lupa siapa yang sebenarnya menangkap dia, Mr Malfoy?” kata Greyback mengancam.
 
“Tentu tudak, tentu tidak!” kata Lucius tidak sabar.  Dia mendekati Harry, sangar dekat. “Apa yang kau lakukan padanya?” Lucius bertanya pada Greyback. “Bagaimana dia bisa menjadi begitu?”
 
“Bukan kami.”
 
"Kelihatannya seperti Kutukan Sengat bagiku," kata Lucius. Mata abu-abunya menusuri kening Harry. “Ada sesuatu di sana,” bisiknya. “Bisa jadi bekas luka, tertarik ketat... Draco, kemari, lihat baik-baik! Bagaimana menurutmu?”
 
Wajah Draco terangkat dekat dengan wajah Harry sekarang, tepat di samping ayahnya. Mereka benar-benar mirip, kecuali sementara ayahnya memandang Harry dengan ketertarikan, ekspresi Draco terlihat sangat enggan, bahkan seperti takut.
 
“Aku tidak tahu,” katanya, dan dia berjalan menjauh menuju perapian di mana Ibunya berdiri memperhatikan.
 
“Sebaiknya kita yakin, Lucius,” Narcissa memanggil suaminya dalam suaranya yang dingin dan jelas. “Benar-benar yakin bahwa itu Potter, sebelum kita memanggil Pangeran Kegelapan... Mereka bilang ini miliknya.” –dia meneliti tongkat blackthorn itu– “tapi ini tidak menyerupai deskripsi Ollivander... Kalau kita salah, kalau kita memanggil Pangeran Kegelapan ke sini tidak untuk apapun... Ingat apa yang dia lakukan pada Rowle dan Dolohov?”
 
“Bagaimana dengan Darah Lumpur-nya, kalau begitu?” geram Greyback. Harry hampir terlempar saat para Penjambret mendorong para tahanan lagi, sehingga cahaya menerangi Hermione sekarang.
 
“Tunggu,” kata Narcissa tajam. "Ya –ya, dia ada di Madam Malkin's dengan Potter! Aku melihat fotonya di Prophet! Lihat, Draco, bukankah ini si Granger itu?”
 
“Aku...mungkin...yeah.”
 
“Dan lagi, itu si Weasley!” teriak Lucius, meluncur mengelilingi tahanan yang diikat untuk menghadap Ron. “Itu mereka, teman-teman Potter –Draco, lihat dia, bukankah itu anak Arthur Weasley, siapa namanya—“
 
"Yeah," ujar Draco lagi, punggungnya menghadap para tahanan. "Bisa jadi."
 
“aku juga membawa Colate untuk anakmu.” Tawar Greyback berhasil membuat Draco membalik tubuhnya sepenuhnya. Greyback tersenyum meliat reaksi Draco. “Well, aku akan membuat harga yang pantas untuk Colate, nak.”
 
Pintu ruang tamu terbuka di belakangku. Seorang wanita berkata, dan suaranya menaikkan rasa takut kami semua.
 
“Apa ini? Apa yang terjadi, Cissy?” Bellatrix Lestrange berjalan perlahan di sekitar kami, dan berhenti di depan Hermione, menatap Hermione melalui matanya yang berpelupuk tebal. “Tapi tentu saja,” katanya pelan, “Ini cewek Darah Lumpur itu? Ini Grander?”
 
“Ya, ya, ini Granger!” jerit Lucius, “Dan disampingnya, kami kira, Potter! Potter dan teman-temannya, akhirnya tertangkap!”
 
“Potter?” Bellatrix tertawa terbahak-bahak, dan dia mundur, agar bisa melihat Harry lebih jelas. “Apa kau yakin? Kalau begitu, Pangeran Kegelapan harus diberi tahu segera!” Dia menarik lengan baju kirinya. Aku  melihat Tanda Kegelapan dibakarkan di lengannya, dan tahu dia akan menyentuhnya, untuk memanggil Master yang dipujanya.
 
“Aku baru saja mau memanggil dia!” kata Lucius, dan tangannya langsung mendekati pergelangan tangan Bellatrix, mencegah dia menyentuh Tanda Kegelapan-nya. "Aku akan memanggilnya, Bella. Potter sudah dibawa ke rumahku, dan dia disini dibawah kekuasaanku—“
 
"Kekuasaanmu!" dia menyeringai, dalam usahanya merenggut tangannya dari genggaman Lucius. "Kau kehilangan kekuasaanmu saat kau kehilangan tongkatmu, Lucius! Beraninya kau! Lepaskan tanganmu!"
 
"Tak ada urusannya denganmu, kau tidak menangkap anak itu—“
 
"Mohon maaf, Mr Malfoy," sela Greyback. "Tapi kami yang menangkap Potter, dan kami yang akan mengklaim emasnya—“
 
“Emas!” Bellatrix tertawa, masih berusaha melepaskan diri dari saudara iparnya, tangannya yang bebas meraba-raba sakunya mencari tongkatnya. "Ambil emasmu, pemakan bangkai kotor, apa urusanku dengan emas? Aku hanya mencari penghormatan darinya—untuk—“ Dia berhenti berontak, matanya yang gelap menatap sesuatu yang aku tak bisa lihat.
 
Kegirangan karena Bellatrix menyerah, Lucius melempar tangannya dan menggulung lengan bajunya sendiri—
 
“BERHENTI!" jerit Bellatrix, "Jangan sentuh, kita semua akan musnah kalau Pangeran Kegelapan datang sekarang!"
 
Lucius membeku, jari telunjuknya melayang di tas Tanda Kegelapan miliknya.
 
Bellatrix mendekat ke salah satu pejambret. “Apa itu?" tanyanya menunjuk Pedang Gryffindor yang berada di genggaman Pejambret.
 
“Pedang,” geram seorang Pejambret.
 
“Berikan padaku!” Bellatrix mencoba mengambil pedang itu.
 
“itu bukan milikmu, Nona, ini punyaku, kupikir aku menemukanya.”
 
Bellatrix mengarahkan tongkatnya ke Pejambret dan kilatan cahaya merah dan benturan keras menghantam dan memingsankan Pejambret. Terdengar raungan kemarahan dari kelompoknya. Scabior menarik tongkatnya.
 
"Kaupikir apa yang kau lakukan, woman?"
 
"Stupefy!" dia berteriak, "Stupefy!"
 
Mereka bukan tandingan Bellatrix, meski mereka berempat melawan dia sendiri. Dia penyihir wanita dengan kemampuan luar biasa dan tanpa nurani. Mereka jatuh di tempat mereka berdiri, semua kecuali Greyback, yang telah didorong ke posisi berlutut, lengannya tertarik. Bellatrix mengangkat manusia serigala itu, pedang Gryffindor tergenggam erat di tangannya, wajahnya memucat.
 
"Dari mana kau mendapat pedang ini?" dia berbisik pada Greyback saat dia menarik tongkat Greyback dari genggaman tangannya yang longgar.
 
"Beraninya kau?" dia menantang, mulutnya satu-satunya yang bisa dia gerakkan saat dia didorong untuk memandang Bellatrix. Dia menunjukan gigi-gigi tajamnya. "Bebaskan aku, perempuan!"
 
"Dari mana kau mendapat pedang ini?" ulangnya, melambai-lambaikan pedangnya di wajah Greyback, "Snape mengirim ini ke lemari besiku di Gringotts!"
 
"Itu dari tenda mereka," kata Greyback. "Bebaskan aku, kataku!" Dia mengayunkan tongkatnya, dan si manusia serigala meloncat di kakinya, tapi terlihat terlalu waspada untuk mendekati Bellatrix. Dia bersembunyi di belakang kursi berlengan, kukunya yang kotor melengkung menggenggam bagian belakangnya.
 
"Draco, pindahkan sampah itu keluar," kata Bellatrix, menunjuk pria yang tak sadarkan diri. "Kalau belum punya keberanian untuk menyelesaikan dia, tinggalkan di halaman untukku."
 
"Jangan berani-berani bicara pada Draco seperti—“ kata Narcissa marah, tapi Bellatrix berteriak.
 
"Diam! Situasinya lebih genting dari yang bisa kau bayangkan, Cissy! Kita punya masalah yang sangat serius!" Dia berdiri, sedikit terengah-engah, melihat ke arah pedang, memeriksa pangkalnya. Kemudian dia berbalik, menghadap kami yang terdiam.
 
"Kalau dia benar-benar Potter, jangan sakiti," dia bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. "Pangeran Kegelapan ingin melenyapkan Potter sendiri... Tapi kalau dia menemukan... Aku harus... Aku harus tahu...” Dia berbalik mengadap adiknya lagi.
 
"Para tahanan harus ditempatkan di gudang bawah tanah sementara aku memikirkan apa yang harus dilakukan!"
 
"Ini rumahku, Bella, jangan beri perintah di—“
 
"Lakukan! Kau tak tahu bahaya yang sedang kita hadapi!" jerit Bellatrix. Dia terlihat ketakutan, marah, aliran kecil api menyembur dari tongkatnya dan membakar karpet, membentuk sebuah lubang.
 
Narcissa tertegun sesaat, kemudian memandang si manusia serigala. "Bawa tahanan ini ke gudang bawah tanah, Greyback."
 
"Tunggu!," kata Bellatrix tajam. "Semua kecuali... kecuali si Darah Lumpur."
 
Greyback mengeluarkan dengkuran senang.
 
"Tidak!" teriak Ron. "Kau bisa menahanku, tahan aku!"
 
Bellatrix memukul wajahnya.  Suara pukulannya menggema di seluruh ruangan.
 
“Kalau dia mati saat ditanyai, kau yang berikutnya," katanya. "Darah Pengkhianat adalah yang berikutnya setelah Darah Lumpur di bukuku. Bawa mereka turun, Greyback, dan pastikan mereka aman, tapi jangan lakukan apapun pada mereka –belum." Dia melemparkan tongkat Greyback kembali, lalu mengeluarkan pisau perak pendek dari balik jubahnya, membebaskan Hermione dari tahanan lain, dan menyeret rambutnya ke tengah ruangan, sementara Greyback mendorong sisa tahanan lainnya berjalan menyeret kaki kami menyeberangi ruangan ke pintu lain, masuk ke gang gelap, tongkatnya teracung di depannya, mengeluarkan kekuatan besar yang tak terlihat.

"Kira-kira dia bakal membiarkanku menggigit sedikit gadis itu saat dia selesai dengannya?" Greyback bersenandung saat mendorong mereka sepanjang koridor. "Kubilang aku bakal dapet satu atau dua gigitan, bagaimana, jahe?" dia kembali bersenandung. “walaupun harus aku akui, aku lebih menginginkan Colate.”

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang