32. GRIMMAULD PLACE

231 62 0
                                    

Setelah aku terlempar ke tempat lainnya dan memutuskan aparasi bukanlah jenis media perpindahan favoritku setelah portkey. Harum laut semerbak diiringi oleh angin beku yang membuat siapa pun bergidik. Aku sempat meragu bahwa aku memikirkan rumah. Namun fosil kerang sebesar pintu meyakinkanku bahwa aku benar-benar ada di Charhide.
 
Pintu kerang raksasa itu terbuka, berharap Ayah muncul dari sana dan memamnggilku untuk menghangatkan diri. Namun, alih-alih sosok yang yang tinggi tegap Ayah, tiga tubuh bertudung sudah muncul mendahului pintu yang belum terbuka sempurna.
 
Mataku terbelalak menyadari Charhide sudah dikuasai oleh Pelahap Maut, jelas rumah pantai dengan puluhan kamar adalah aset terbesar jika kau adalah Pelahap Maut. Segera, aku memaksa tubuhku untuk berdiri, menolak semua keterkejutan dan berlari.
 
Sial, kenapa aku berlari kalau bisa menghilang?
 
Tiga langkah cepat akan membuat Pelahap Maut yang ber-apparate mendekatiku meleset dan dengan cepat aku ber-apparate kembali. Hal terakhir yang aku dengar adalah suara berat yang menggeram berteriak “COLATE!” dan berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
 
Terperosok di depan tangga batu bukanlah hal yang lucu. Aku yakin selalu melakukan aparasi dengan sempurna selama latihan tahun lalu. Namun melakukan itu dalam pelarian adalah sebuah perbedaan. Aku beruntung belum melakukan splincing sejauh ini karena fakta buruknya, aku tidak menyimpan ramuan apapun yang dapat menyembuhkanku jika aku terluka atau sakit.
 
Aku melihat sekeliling memastikan tidak ada Pelahap Maut di sekitar, walaupun kembali ke Grimauld Place adalah tindakan bodoh. Namun aku tidak dapat menentukan tempat aman lain saat ini. Seandainya saja Viktor bersamaku, kami mungkin sudah melakukan perjalaan ke seluruh pelosok Skotlandia.
 
Aku bergeas menaiki tangga batu dan mengetuk tongkat ke pintu. Terdengar denting logam dan rantai, lalu pintu berderak terbuka kemudian aku segera masuk. Saat pintu tertutup, lampu gas bermodel lama langsung menyala, memberi cahaya di sepanjang lorong panjang. Pajangan kepala peri rumah berjajar di dinding terlihat baru dibersihkan, tirai gelap panjang masih menutup potret ibu Sirius. Tempat payung berbentuk kaki Troll tampak tidak terlalu menyeramkan dengan tiga payung di dalamnya.
 
Aku masih berdiri di atas karpet yang sekarang sudah memperlihatkan kepemilikannya dengan nama ‘BLACK’ terlihat di sana. Sedikit ragu untuk masuk lebih dalam karena Mad-Eye menyiapkan kutukan tertentu untuk Snape jika dia datang.
 
“Saverus Snape?” suara Mad-Eye berbisik dalam kegelapan, membuat aku melompat kaget.
 
“aku Safera! Safera Colate!” Teriakku sebelum udara dingin menyapu dan membuat lidahku tergulung tidak bisa bicara. Sebelum aku merasakan lidahku lagi, lidahku kembali seperti semula.
 
Kutukan Pengikat Lidah yang bagus dari Mad-Eye pasti tidak akan membuat Snape senang. Merasa sudah aman, aku mulai melangkah. Sesuatu bergerak dalam bayangan di ujung lorong, dan sebelum aku berkata sesuatu, sebuah sosok muncul dari bawah karpet, tinggi, keabuan, dan menakutkan. Sosok keabuan itu melayang ke arahku, dengan rambut dan janggut sepanjang pinggang yang melambai, wajahya tirus seakan tak berdaging, dngn rongga matanya kosong. Sosok menyerupai Dumbledore itu mengangkat tangan menunjukku membuatku mundur, terselengkat oleh kakiku sendiri.
 
“AKH!” aku berusaha meraih apapun untuk membuatku berdiri. Namun sialnya, aku menarik tirai ibu Sirius dan dia segera berteriak.
 
“HANTU BODOH!”
 
Sosok itu mengangkat tongkatnya, tidak ada mantera terlepas darinya.
 
NO!” raungku luar biasa ketakutan. Aku melipat kedua kakiku menyembunyikan tubuhku dengan tirai ibu Sirius yang entah bagaimana terjuntai ke lantai. “I’m Safera! I'm not kill you!”
 
Bersamaan dengan kata ‘kill’, sosok itu meletup menghilang, meninggalkan kumpulan awan debu. Aku terbatuk dengan debu memenuhi hidung dan mata berair. Membeku dengan sisa-sisa ketakutan yang luar biasa. Sungguh Mad-Eye benar-benar membuktikan dirinya sebagai Auror dengan menunjukkan ketakutan terbesar dalam hidupku.
 
Debu masih berterbangan membentuk kabut tipis dan Mrs Black masih bereteriak.
 
“BANGUN PENYIHIR BODOH! Kau membiarkan debu itu menakutimu!” ranungnya padaku.
 
SHUT UP!” aku melambaikan tongkat pada Mrs Black.
 
Mrs Black masih berusaha berteriak namuan suaranya tidak muncul, membuatnya menyentuh lehernya namun tidak ada yang terjadi. Sebagai gantinya, dia menunjukku dengan kemarahan yang dapat terpancar oleh matanya dan urat leher yang menonjol membuktikan betapa murkanya ia padaku.
 
Dalam keterkejutanku karena berhasil menciptakan mantera untuk membisukan lukisan, suara seseorang di dapur mengalihkan perhatianku, dengan perlahan aku membuka pintu dapur dan semakin terkejut melihat dapur hampir tidak dikenali. Setiap senti kini berkilau, panci dan wajan tembaga berkilau kemereahan, meja kayu tampak mengkilap, gelas dan piring yng sudah disiapkan untuk makan malam memantulkan cahaya dari perapian yang di dalamnya terdapat kuali mendidih.
 
“Selamat datang, Nona Colate.” Sapa peri rumah yang kini terburu-buru meyendokkan sup panas ke mangkuk, memakai handuk putih bersih, rambut telinganya pun sebersih dan sehalus kapas, liontin sebesar telur ayam menggantung di dadanya yang kurus. “Kapan Tuan Harry akan datang?”
 
Pertanyaan Kreacher menyadarkanku. Bagaimanapun melihat Kreacher sekarang bertingkah layaknya peri rumah sesuangguhnya adalah hal yang mustahil, hampir tidak dapat dipercaya apalagi dia menyebut Harry dengan gelar kehormatan, menunjukkan bahwa Harry benar-benar pemiliknya.
 
Sorry?” aku meyakinkan pendengaranku.
 
“Tuan Harry, Nona Colate. Kapan dia akan kembali?” tanya Kreacher lagi dengan jelas dan sopan.
 
“Apa Harry pernah ke sini?” tanyaku bodoh. “Maksudku, setelah kematian Dumbledore.”
 
Kreacher menatapku dengan geram, atau mungkin marah. “Tuan Harry pernah mengunjungi Kreacher, dia memberikan kalung milik Tuan Kreacher, Tuan Regulus. Ini adalah hadiah dari Tuan Harry karena Tuan Harry masih mengingat dan mengunjungi Kreacher ke rumah ini.” Katanya dengan menggebu-gebu sambil menununjukkan kalung yang terlihat berat di lehernya.
 
“Baiklah, baiklah.” Kataku berusaha mengalah. “Jadi, kapan dia pergi.”
 
“Kenapa Kreacher harus memberikan informasi kepada Nona Colate? Kreacher bahkan tidak tahu apakah Nona Colate akan baik atau tidak pada Tuan Harry.”
 
Aku menggeram pelan. Sejak kapan Kreacher mengabdi sepenuh hati pada Harry? “Aku di pihak Harry, Oke? Kita bahkan menyingkirkan beberapa Doxy di sini.”
 
“Baiklah, Kreacher akan percaya pada Nona Colate.” Katanya membungkuk, memberikan penghormatan terbaiknya. “Namun jika Tuan Harry dalam masalah, Kreacher akan mencari Nona Colate.”
 
Aku memutar bola mataku. Aku bahkan menerima ancaman dari orang peri rumah. Terima kasih Harry. “Jadi, kapan Harry berada di sini?”
 
“Tuan Harry dan Kawan-kawannya pergi sekitar tiga bulan yang lalu.”
 
“kawan-kawannya? Maksudmu, Ron dan Hermione?”
 
“Ya…” Kreacher seakan hendak melontarkan sumpah serapah namun kemudian ia telan kembali, membuatnya terlihat sepeti menelan muntahannya sendiri. “Tuan Harry bersama mereka.”
 
“ke mana mereka pergi?” tanyaku lagi sambil meletakkan bokongku di kursi.
 
“mereka pergi ke Kementerian untuk melakukan sesuatu.”
 
“Apa?”
 
“Kreacher tidak bisa memberitahu kepada sembarang orang.”
 
Aku memutar mataku jengah lalu menyendok sup. Belum sempat sup itu masuk ke dalam mulutku, Kreacher kembali berbicara.
 
“Kreacher menyiapkan makanan untuk Tuan Harry.” Katanya kencang kepada dirinya sendiri.
 
“Jadi kau melarangku untuk makan?” tanyaku. Untuk pertama kalinya aku marah kepada peri rumah. “Harry tidak ada di sini dan aku tidak yakin kapan dia akan datang. Lalu kau, hanya menghabiskan bahan makanan untuk dibuang percuma, jadi aku membantumu dengan memakannya.” Jelasku panjang lebar. Kreacher menolak untuk menatapku. “aku yakin Harry tidak akan keberatan jika aku memakan semangkuk sup yang kau buat.”
 
Kreacher menggerutu pelan menuju pintu dapur.
 
“Tunggu!” panggilku. Kreacher berhenti walaupun masih menolak untuk menatapku.
 
“apa ada orang lain, selain Harry dan aku yang masuk ke sini sebelumnya?”
 
“si pencuri…” jawab Kreacher jelas penuh dendam di dalam suaranya. “Mundungus Fletcher.”
 
“bagaimana dengan Pelahap Maut?”
 
“mereka pernah berhasil mencapai pintu, namun tidak pernah berhasil masuk.”
 
Kreacher pergi meninggalkanku begitu saja. Mungkin dia mencari tempat yang harus dia bersihkan. Aku dengan cepat menghabiskan sup yang Kreacher buat. Mungkin saja ini sup layak terakhir yang bisa aku makan.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang