19. KETUA MURID

355 103 15
                                    

Professor Sprout memintaku untuk mengikutinya setelah Pesta Penyambutan yang suram karena memiliki Snape sebagai kepala sekolah bukanlah hal baik yang murid Hogwarts harapkan. Selain anak Slytherin, semua murid hanya bertepuk seadanya saat Snape melakukan pidato pertamanya sebagai Kepala Sekolah.  Hanya m3ja Slytherin yang terisi penuh oleh murid, tiga meja lain hanya terisi kurang dari setengahnya.  Kekosongan terbesar berada di meja Hufflepuff. Seperti dugaanku, para murid yang memiliki setengah darah akan memilih untuk tidak kembali ke sekolah dan para kelahiran Muggle pasti tengah bersembunyi entah di mana. Sebagian besar murid hanya melihat sekeliling mereka dengan hampa karena sekolah tidak lagi menyenangkan tanpa teman-teman mereka dan melihat kakak-beradik Carrow dengan ganjil karena mereka diangkat sebagai guru di Hogwarts.
 
Aku dan Profesor Sprout tiba di lantai tiga, menuju dua patung Gargoyle di mana mereka menjaga kantor Kepala Sekolah.
 
“Gillyweeds.” Kata Profesor Sprout pada dua patung itu,  kedua tangan Profesor Sprout menyatu dan terlihat tidak nyaman.
 
Dua patung Gargoyle melompat ke samping. Aku dan Profesor Sprout menaiki tangga melingkar sampai menemukan pintu ganda kayu ek dengan pengetuk kuningan. Professor Sprout menelan ludahnya dan melirikku sebelum ia mengetuk puntu ganda itu.
 
“Masuk.” Balas suara suram Snape dari dalam.
 
Professor Sprout mengangguk dan membuka pintunya pelan. Aku melihat sekeliling ruangan itu setelah kami masuk. Kesan indah yang selama ini melekat di ruangan Kepala Sekolah seakan hilang digantikan dengan suasana suram dan mencekam. Dua kursi nyaman yang biasannya berada di depan meja Kepala Sekolah digantikan dengan dua kursi kayu dengan bantalan tebal. Rak buku yang berderet indah koleksi Dumbledore hanya tersisa beberapa lusin digantikan dengan toples-toples kaca berisikan bahan ramuan dan botol-botol vial kecil ramuan jadi siap pakai. Di samping pintu, tempat di mana Fawkes bertengger sebelumnya berubah menjadi peti kecil dengan aura gelap seakan jika dibuka akan menyebarkan kutukan. Hal yang tidak berubah dari ruangan bundar ini adalah dinding dengan deretan para mantan Kepala Sekolah dengan tambahan Dumbledore yang berada tepat di belakang kursi Snape, topi compang-camping bertambal di atas rak, dan Pedang Gryffindor yang masih terlihat elegan di dalam kotak kaca.
 
“Kepala Sekolah, saya datang bersama Miss Colate.” Jelas Profesor Sprout pada Snape yang tengah menatap keluar jendela,  jelas nada takut bercambur jijik dalam setiap kalimatnya karena mengakui Snape sebagai Kepala Sekolah.
 
“Silahkan duduk.” Katanya dingin seperti biasa. Ia berjalan mendekati kursinya dan duduk dengan angkuh.
 
Aku dan Profesor Sprout segera duduk di atas kursi dengan bantalan tebal. Untuk pertama kalinya aku melihat Profesor Sprout sangat tidak nyaman berada di Hogwarts.
 
“Maksutku memanggil kalian,” Snape membuka pembicaraan, aku menatapnya sinis. “aku ingin mengangkat Safera Colate menjadi Ketua Murid Hufflepuff menggantikan Hannah Abbot.”
 
Aku membulatkan mataku. “Tapi…”
 
“Tapi kita tidak bisa menggantikan Hannah—maksutku Miss Abbot, begitu saja.” Profesor Sprout memprotes.
 
“Aku yakin Miss Abbot tidak akan kembali ke sekolah lagi.” Balas Snape dingin.
 
“Tapi hal itu belum pasti, Kepala Sekolah.” Sambung Profesor Sprout lagi. “Kita—“
 
“Aku tidak ingin menjadi Ketua Murid.” Kataku memotong perdebatan Snape dan Profesor Sprout.
 
“aku tidak memintamu, tapi memerintahmu.” Kata Snape dingin dan angkuh seakan itu adalah akhir percakapan tanpa bantahan.
 
“aku tidak ingin lencana Ketua Murid dan aku tidak ingin menjadi Ketua Murid.” Tolakku lagi.
 
“Aku tidak menerima penolakan, Miss Colate.”
 
“Anda tidak bisa melakukan ini.” Aku berdiri dari kursiku.
 
Profesor Sprout melihatku ngeri namun Snape tetap menatapku dengan mata dinginnya, tanpa ekspresi. Sekilas aku melihat potret Dumbledore menghela napas tidak sabar.
 
“Tidak ada murid selancang itu saat aku menjadi kepala sekolah.” Kecam Phineas Black dari potertnya.
 
“Asal Anda tahu, Kepala Sekolah.” Kataku dingin. “Anda mungkin bisa mengusir teman-temanku dari sekolah dan mencarinya sampai keujung dunia. Tetapi aku tidak akan mencuri posisi mereka di sekolah ini.”
 
Snape memejamkan matanya selama lima detik sebelum membukanya kembali. “bisakah Anda meninggalkan aku dan Safera berdua, Profesor Sprout.” Kata Snape dengan wibawa dibuat-buat.
 
“T-t-tapi, kenapa?”
 
“ada sesuatu yang ingin kami bicarakan,” kata Snape matanya melihatku. “berdua.”
 
“Er, baiklah.”
 
Aku menatap Profesor Sprout dengan tatapan memohon, memintanya agar tidak meninggalkan aku dengan Snape tapi Profesor Sprout hanya melihatku dengan penuh penyesalan.
 
Setelah Profesor Sprout menghilang di balik pintu, ruangan kembali sunyi, baik aku ataupun Snape tidak ada yang memulai pembicaraan. Kuap terdengar di sana-sini dari potret-poter Kepala Sekolah yang menunggu perkembangan dari pemberontakanku.
 
“Duduk!” tegas Snape.
 
Aku menurut, kembali menenggalamkan tubuhku di kursi dengan bantalan tebal. “Aku tid—“
 
“ini kesempatanmu untuk memberontak.” Ucap Snape memotong kalimatku. Aku terdiam mendengar kalimat ganjilnya. “kau mungkin tidak akan menyukai keberadaanku di sekolah dan aku lebih tidak menyukai dua  Pelahap Maut lain di sekolah ini.”
 
“Apa maksut Anda?”
 
“seharusnya kau beruntung, Draco masih ingin melindungimu walaupun nyawa menjadi taaruhannya.”
 
“Draco? Apa maksut Anda?”
 
“Dia yang mengusulkanmu untuk menjadi Ketua Murid, mengatasnamakan darah yang mengalir di tubuhmu alih-alih romansa remaja menjijkan.” Snape berkata jijik.
 
Demi Merlin, aku ingin sekali mengutuk Snape karena kalimatnya yang tidak aku mengerti. “Apa maksut Anda sebenarnya?”
 
“Draco ingin kau menjadi Ketua Murid untuk dapat melindungi namamu sendiri. Aku tidak tahu Colate selambat ini dalam mencerna informasi.” Ucapnya lagi yang sebagian besar penuh dengan kebencian. “Kau salah satu keturunan Rosier yang masih hidup, Draco kira Pengeran Kegelapan akan mengampunimu. Kami menghargai pamanmu yang mati sebagai pengikut setia Pangeran Kegelapan karena itu kami membiarkanmu hidup sampai sekarang.”
 
Aku mengangkat alisku, bukan karena aku menyadari bahwa aku bisa saja dibunuh di Hogwarts, namun karena muak dengan kebanggaan Snape pada pamanku, Evan Rosier yang mati pada Perang Dunia Sihir Pertama sebagai Pelahap Maut. Ayah berkali-kali bilang padaku, bahwa Paman Evan salah satu orang yang menentang pernikahan Ayah dan Ibu setelah kakek jauhku, Cygnus III Black, karena Rosier dan Black merupakan pengikut setia Pangeran Kegelapan.
 
“Kami mengharapkan kesetiaanmu pada Pageran Kegelapan seperti pendahulumu.”
 
“Kenapa Anda sangat berharap aku akan bergabung? Anda tahu saya berada di garis depan saat pertarungan di Kementerian. Aku dan Ayah selalu menentang kalian.”
 
“Alasan Draco bagus menjadikanmu Ketua Murid dengan alasan darah murni-mu yang tidak dapat diragukan,” kata Snape dengan senyum licik. “aku pikir tidak ada salahnya bermain-main dengan kalian.”
 
“bermain-main?”
 
“aku hanya memberimu satu petunjuk.” Aku melihat Snape tertarik. “di dalam sekolah ini, hanya ada tiga kepala yang memiliki kemampuan Occlumency. Kau, aku, dan Draco.”
 
“Lalu?”
 
Snape melemparkan Lencana Ketua Murid ke atas meja. “Aku hanya memberikan tiket emas padamu, kau akan mengambilnya atau tidak?”
 
Aku terdiam. Ragu sejenak. Apa maksutnya dengan menjadi Ketua Murid adalah tiket emas untukku? Dan kenapa aku mendapat kesan bahwa Snape mengharapkan adanya pemberontakan di Hogwarts seperti dia memang sudah mengaturnya sebelumnya? Kenapa dia mengharapkan kami memberontak? Kenapa dia memilihku menjadi Ketua Murid? Ini seperti teka-teki besar untukku.
 
Aku melihat Snape yang masih melihatku dengan tidak sabar, kemudian pada potret Dumbledore yang masuh terjaga untuk mendengarkan percakapan kami. Kedua tangannya terbuka seakan mempersilahkan aku untuk memilih, dan tidak akan ikut campur dengan jawaban apapun yang aku berikan.
 
Aku beringsut maju, sedikit ragu untuk mengambil lencana di depan Snape. Namun setelah lencana itu berada di tanganku, aku mengelus pelan deretan huruf bertuliskan 'Headgirl' elegan yang melekat di sana.
 
“Tapi apa maksut And—“
 
“Kau boleh keluar sekarang.” Kata Snape acuh.
 
“Tapi aku…”
 
“ini sudah cukup larut, kau bisa mengajukan pertanyaanmu di pertemuan kita berikutnya.”
 
“kita akan—“
 
“Keluar.”
 
Snape melambaikan tongkatnya ringan dan pintu terbuka. Aku tidak mempunyai pilihan selain melangkahkan kakiku keluar dari kantornya dengan seribu teka-teki yang masih tersimpan di otakku.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang