76. SENJATA

313 57 8
                                    

Kau pikir kau lebih tahu sihir dibanding aku?” kata Voldemort. “Dibanding aku, Lord Voldemort yang telah memraktekkan sihir, bahkan  belum pernah dimimpikan oleh Dumbledore?”
 
“Oh, dia memimpikannya”, kata Harry, “tapi dia tahu lebih banyak darimu, tahu untuk tidak melakukan apa yang telah kau lakukan.”
 
“Maksudmu dia manusia lemah!” teriak Voldemort. “Terlalu lemah untuk bersikap berani, terlalu lemah untuk merebut apa yang bisa menjadi miliknya, apa yang akan jadi milikku!”
 
“Tidak, dia lebih pintar darimu”, kata Harry, “penyihir  dan pria yang lebih baik darimu.”
 
“Akulah yang membuat Albus Dumbledore mati!”
 
“Pikirmu begitu”, kata Harry, “tapi kau keliru.”
 
Untuk pertama kalinya kerumunan penonton bergerak ketika ratusan orang di sekeliling dinding menarik nafas secara serentak.
 
“Dumbledore sudah mati!” Voldemort melontarkan kata-kata itu seakan-akan bisa membuat Harry kesakitan. “Mayatnya membusuk di makam pualam halaman kastil ini. Aku sudah melihatnya, Potter, dan dia takkan kembali!”
 
“Ya, Dumbledore sudah mati,” kata Harry tenang, “tapi kau tidak membunuhnya. Dia memilih sendiri caranya mati, memilihnya berbulan-bulan sebelum mati, merencanakan semua bersama orang yang kau kira adalah pelayanmu.”
 
“Kau berkhayal”, kata Voldemort, tapi masih juga belum menyerang, dan mata merahnya tidak berpaling dari mata Harry.
 
“Severus Snape bukan di pihakmu,” kata Harry. “Snape ada di pihak Dumbledore. Di pihak Dumbledore sejak kau mulai memburu ibuku. Dan kau tak pernah menyadarinya karena suatu hal yang tak bisa kau pahami. Kau tak pernah melihat Snape mengeluarkan Patronus, betul Riddle?”
 
Voldemort tak menjawab. Mereka terus memutari satu sama lain bagaikan serigala yang bersiap saling merobek.
 
“Patronus milik Snape adalah seekor kijang betina,” jawab Harry, “sama seperti punya ibuku, karena Snape mencintainya seumur hidupnya, sejak mereka masih anak-anak. Kau seharusnya menyadari itu,” lubang hidung Voldemort mengembang mengetahui fakta yang diucapkan Harry, “Snape memintamu membiarkan ibuku tetap hidup, betul 'kan?”
 
“Dia berhasrat kepadanya, itu saja”, seringai Voldemort, “tapi ketika dia mati, dia setuju bahwa masih ada wanita lain, yang berdarah murni yang lebih pantas untuknya—“
 
“Tentu saja dia bilang begitu padamu,” kata Harry, “tapi dia adalah mata-mata Dumbledore sejak kau mengancam ibuku, dan sejak saat itu dia bekerja menentangmu! Dumbledore sudah sekarat ketika Snape menghabisinya!”
 
“Itu tak jadi masalah!” pekik Voldemort, terdengar setiap kata dengan penuh perhatian, tapi sekarang mengeluarkan pekik tawa tak waras. “Tak jadi masalah apakah Snape di pihakku atau Dumbledore, atau masalah remeh apa yang mereka coba berikan! Aku menghancurkan mereka seperti aku menghancurkan ibumu, wanita kecintaan Snape! Tapi semuanya masuk akal, Potter, masuk akal secara berbeda dari yang kau pahami!”
 
“Dumbledore berusaha mencegahku memiliki Tongkat Bertuah! Dia mau supaya Snape-lah yang jadi pemilik sejati tongkat itu! Tapi aku tiba di sana lebih dulu darimu, bocah kecil –aku memegang tongkat itu sebelum kau menyentuhnya, aku tahu kebenaran sebelum kau menyusul. Aku bunuh Severus Snape tiga jam yang lalu, dan Tongkat Bertuah, tongkat maut, tongkat takdir benar-benar jadi milikku! Rencana terakhir Dumbledore gagal, Harry Potter!”
 
“Yah, memang betul”, kata Harry, “Kau benar. Tapi sebelum mencoba membunuhku, aku sarankan kau pikirkan lagi apa yang telah kau lakukan… Pikirkan, tidakkah kau punya penyesalan?”
 
“Apa lagi ini?”
 
Dari semua yang telah Harry ucapkan kepada Voldemort, melebihi rahasia yang dia beberkan atau ejekan yang dia sampaikan, tak ada yang membuat syok Voldemort selain yang ini. Pupil matanya mengecil jadi irisan tipis, kulit di sekitar matanya memutih. “Ini kesempatan terakhirmu,” kata Harray, “Cuma ini yang masih kau punya… aku sudah melihat apa jadinya kau kalau kau masih meneruskan… jadilah seorang laki-laki, cobalah menyesali…”
 
“Beraninya kau—“ kata Voldemort lagi.
 
“Ya, aku berani,” kata Harry, “karena rencana terakhir Dumbledore sama sekali tidak berbalik padaku, tapi berbalik padamu, Riddle.”
 
Tangan Voldemort yang memegang Tongkat Bertuah gemetar, dan Harry menggenggam tongkatnya.
 
“Tongkat itu masih tak berfungsi dengan baik bagimu karena kau membunuh orang yang salah. Severus Snape tak pernah jadi pemilik sejati Tongkat Bertuah. Dia tak pernah mengalahkan Dumbledore.”
 
“Dia membunuh—“
 
“Kau menyimak tidak? Snape tak pernah mengalahkan Dumbledore! Kematian Dumbledore sudah direncanakan mereka berdua! Dumbledore memang ingin mati, tanpa dikalahkan, dialah pemilik sejati terakhir tongkat itu! Kalau rencana itu berjalan baik, maka kekuatan tongkat itu akan mati bersamanya, karena tongkat itu tak pernah dimenangkan dari dia!”
 
“Tapi, Potter, Dumbledore sama saja dengan sudah menyerahkan tongkat itu kepadaku,” suara Voldemort bergetar dengan nada puas yang jahat. “Aku mencuri tongkat ini dari kubur pemilik terakhirnya! Aku ambil dia di luar kemauan tuannya yang terakhir! Kekuatannya jadi milikku!”
 
“Kau masih belum mengerti juga rupanya, Riddle? Memiliki tongkat itu tidaklah cukup. Memegangnya, menggunakannya, tidak membuatnya menjadi milikmu sesungguhnya. Tidakkah kau dengar kata-kata Ollivander? Tongkatlah yang memilih tuannya… Tongkat Elder mengenali tuannya yang baru sebelum Dumbledore wafat, seseorang yang belum pernah menyentuhnya. Tuan barunya melepaskan tongkat itu dari Dumbledore di luar kemauan Dumbledore sendiri, tanpa menyadari apa sebenarnya yang telah dia lakukan, tanpa menyadari bahwa tongkat paling berbahaya di dunia telah menyatakan kesetiaan kepadanya…”
 
Dada Voldemort kembang kempis dengan cepat, dan  merasakannya terbentuk di dalam tongkat yang terarah ke wajahnya.
 
“Pemilik sejati Tongkat Elder adalah Draco Malfoy.”
 
Keterkejutan hampa terpampang di wajah Voldemort untuk sesaat, tapi kemudian berlalu. “Itu tak jadi masalah,” katanya pelan. “Kalaupun kau benar, Harry, bahkan tak ada bedanya buatmu dan aku. Kau tak lagi punya tongkat burung phoenix. Kita berduel semata-mata mengandalkan keahlian… dan setelah membunuhmu aku bisa mencari Malfoy…”
 
“Tapi kau sudah terlambat,” kata Harry. “Kesempatan terakhirmu sudah lewat. Aku sampai lebih dulu. Aku mengalahkan Draco berminggu-minggu lalu. Aku ambil tongkatnya dari dia.” Harry mengacungkan tongkat di tangannya dan mata semua orang di Aula tertuju ke benda itu. “Jadi semuanya akhirnya berujung pada soal ini, bukan?” bisik Harry. “Apakah tongkat di tanganmu tahu kalau pemilik terakhirnya sudah dilucuti? Karena kalau ia memang tahu… Akulah pemilik sejati Tongkat Elder.”
 
Semburat cahaya merah tiba-tiba melintasi angkasa di atas mereka ketika sinar matahari muncul dari atas jendela dekat mereka. Cahaya itu jatuh ke wajah mereka berdua pada waktu yang bersamaan, sehingga Voldemort mendadak terlihat kabur. Terdengar pekikan tinggi.
 
“Avada Kedavra!”
 
“Expelliarmus!”
 
Terdengar letusan bagaikan tembakan meriam, dan nyala keemasan yang meledak di antara mereka, tepat di pusat lingkaran yang mereka bentuk, menandai titik dimana mantera mereka bertumbukan. Pancaran hijau mantra Voldemort beradu dengan mantra Harry, Tongkat Elder melayang tinggi, gelap kontras terhadap cahaya matahari pagi, berputar-putar diudara bagaikan kepala Nagini, berputar menuju tuannya yang tak akan dibunuhnya, tuan yang pada akhirnya datang untuk mengambil kepemilikan tongkat itu sepenuhnya. Dan Harry, dengan kecakapan tanpa cela seorang Seeker, menangkap tongkat itu dengan tangannya yang bebas sementara Voldemort jatuh ke belakang dengan kedua lengan terbentang, mata merahnya yang berpupil tipis berputar ke atas.
 
Tom Riddle menghantam lantai, tubuhnya layu dan mengkerut, tangan putihnya kosong, wajahnya yang mirip ular kini hampa sama sekali. Voldemort mati, terbunuh oleh kutukan sendiri yang berbalik menyerangnya, dan Harry berdiri dengan dua tongkat di tangannya, menatap mayat musuhnya.
 
Untuk sejenak keheningan terasa mencekam, perasaan syok menggantung di udara. Lalu kegemparan pecah di sekeliling ketika jeritan, sorak sorai dan raungan membelah udara. Mentari pagi bersinar menerangi jendela Aula sementara kami menerjang ke arah Harry, dan yang pertama mencapainya adalah Ron dan Hermione, dan lengan mereka memeluknya disertai teriakan memekakkan yang sulit dimengerti. Kemudian aku, Ginny, Neville dan Luna pun ada di sana, disusul seluruh anggota keluarga Weasley dan Hagrid, juga Ayah dan Kingsley dan McGonagall dan Flitwick dan Sprout. Semuanya bercampur, berdesak, dan berteriak.
 
Matahari meninggi di atas Hogwarts, dan Aula Besar terang benderang oleh cahaya dan kehidupan. Harry menjadi bagian utama dari apa yang berlangsung di sana, campuran antara
tumpahan kegirangan dan perkabungan, antara dukacita dan perayaan. Semua orang menginginkan dia di sana, pemimpin dan simbol, penyelamat dan penuntun kami, dan nampaknya tak seorangpun menyadari bahwa kami sudah lama tak tidur.
 
Harry berbicara kepada mereka yang kehilangan, menggenggam tangan mereka, menyaksikan air mata mereka, menerima ucapan terima kasih mereka, menerima berita dari segala penjuru sementara pagi beranjak ke siang,  di mana-mana orang yang terkena kutuk Imperius telah terbebas,  para Pelahap Maut telah melarikan diri atau tertangkap,  orang-orang tak bersalah yang dijebloskan ke Azkaban telah dibebaskan saat itu juga, dan  Kingsley Shacklebolt telah diangkat sebagai pejabat sementara Kementerian Sihir.
 
Mereka memindahkan mayat Voldemort dan meletakkannya di sebuah kamar di Aula, terpisah dari mayat Fred, Tonks, Lupin, Colin Creevey dan lima puluh lainnya yang gugur menentangnya. McGonagall telah menggantikan meja-meja Asrama, tidak lagi bahwa tiap orang harus duduk menurut Asramanya, mereka bercampur-aduk, guru dan murid, hantu dan orangtua, centaur dan peri-rumah, dan Firenze berbaring memulihkan diri di lantai, dan Grawp mengintip dari jendela pecah, dan orang-orang melemparkan makanan ke mulut-muluttnya sambil tertawa-tawa.
 
Peeves melintasi koridor-koridor sambil menyanyikan lagu kemenangan gubahan sendiri, “kita berhasil, kita hancurkan mereka, wee… Potter-lah orangnya, dan Voldy sudah lapuk, mari bersenang-senang!”
 
Luna meneriakkan sesuatu tentang Blibbering Humdinger kemudian semua orang menoleh dan tidak melihat apapun, semakin yakin bahwa Luna membayangkan sesuatu yang tidak mugkin nyata. Ginny dua meja jauhnya, sedang duduk bersandar di bahu ibunya. Neville makan dikelilingi pengagum yang antusias semntara pedang Gryffindor tergeletak di samping piringnya. Tiga anggota keluarga Malfoy berkerumun seakan tak yakin apakah mereka patut atau tidak berada di sana, tapi tak ada yang memperhatikan mereka. Kemanapun mata memandang, di sanalah keluarga-keluarga berkumpul kembali.

Aku memeluk Ayah tanpa sedetikpun melepasnya sejak duel terakhir Harry dan Voldemort. Sama seperti sebelumnya, Ayah tidak nampak terganggu oleh pelukanku, ia bahkan memakluminya setelah apa yang terjadi padaku. Bahkan saat Ayah berbicara tentang Kementerian Sihir dengan Kingsley, ia tidak melepaskan pelukannya. Kingsley, yang mengejutkan juga mengerti itu, sesekali ia menepuk bahuku menenangkan saat berbicara dengan Ayah seakan aku hanyalah peliharaan yang seharusnya dimanja.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang