Batu pasir dan serpih berbutir kasar menyambutku, Ilkley Moor. Umumnya tempat ini dilihat sebagai tegalan yang membentang dari Ilkley di utara hingga Keigley di selatan. Secara teknis, Ikley Moor merupakan bagian dari tegalan Rombalds yang terdiri dari beberapa tegalan. Tegalan Rombalds sendiri merupakan tempat tanaman herbal ditemukan. Di beberapa titik, tidak akan sulit menemukan Ditany, Margot, Valerian. Belum lagi banyak jamur langka yang tumbuh di kaki batu besar seperti di Doubler Stones, dua batu dengan bentuk tidak biasa di Ikley, hampir seperti batu raksasa yang diremas.
Aku memutuskan berkemah beberapa hari di rumput kapas yang membeku, menghabiskan waktu dengan memetik tumbuhan dan jamur, membuatku bereksperimen dengan beberapa tanaman obat, setidaknya aku tidak menyia-nyiakan beberapa buku yang aku beli dalam pengejaran Greyback.
Di titik lain Ilkley Moor, aku berkemah di ladang heather, walaupun hanya menyisakan jejak beku kelopaknya yang berwarna ungu. Sesekali bergumam agar tetap berpikiran normal. Sudah berminggu-minggu aku menghabiskan waktu sendirian.
Aku merapihkan tendaku. Sedikit berjalan-jalan di desa Muggle mngkin tidak akan menimbulkan kecurigaan. Setidaknya aku ingin menghibur diriku sendiri dengan hal lain selain buku yang aku baca.
Aku muncul di salah ujung jalan kecil yang buntu, berjalan menyusuri jalan tanpa cahaya sembari mengetatkan mantelku karena salju yang tebal. Angin dingin menerpa wajah saat berjalan melewati pondok-pondok Muggle. Pohon natal raksasa berdiri tegak di alun- alun desa, dihiasi dengan lampu warna-warni dan bintang emas yang berkilau terkena sinar matahati di puncaknya. Di sekitarnya beberapa toko, kantor pos, sebuah kafe, dan gereja di mana cahaya dari jendela mereka menerangi jalan.
Salju di jalan berbeda dengan salju di mana aku berkemah. Salju ini keras dan licin karena telah diinjak-injak banyak orang. Para penghuni desa berlalu-lalang diterangi oleh lampu jalan. Orang-orang tertawa dan musik pop terdengar saat pintu kafe dibuka-tutup, dan lagu pujian juga terdengar dari gereja.
Wangi roti yang baru saja dikeluarkan dari oven mengingatkanku tentang kehangatan malam Natal seharusnya. Aku tersenyum kecut. Malam ini bahkan aku tidak memiliki siapa pun untuk berbicara. Semua hal ini semakin buruk. Desa Muggle ini membuatku merasa buruk. Aku merindukan Cedric.
Tanpa sadar kakiku bejalan mundur, berputar dan berlari menghindari kerumunan orang-orang di sekitar pohon Natal raksasa. Aku berbelok di gang sepi kemudian ber-Apparate.
Aku muncul di atas bukit Staple, bukit tertinggi yang berada di perbukitan Blackdown, tempat Cedric dimakamkan di gundukan kecil dengan bunga Marigold yang disihir agar segar abadi. Bunga Gladiol yang selalu di bawa Mr dan Mrs Diggory sudah hampir membeku.
Aku membersihkan nisan Cedric yang tertutup salju, mengalirkan uap hangat dari ujung tongkatku untuk menghilangkan bunga es nakal yang masih tak mau menghilang. Natal kali ini adalah yang terdingin yang pernah ada, dengan banyak Dementor berkeliling di desa-desa, perompak berkeliaran, dan perburuan Pelahap Maut. Desa-desa Muggle bahkan tidak terlihat dari atas bukit karena salju dan kabut dementor mengaburkan semuanya.
Aku meringkuk di atas nisan, menahan dingin dan juga kesepian, meluapkan semua tangis yang aku tahan sejak meninggalkan Hogwarts Ekspress. Bahkan rasanya seperti sudah bertahun-tahun meninggalkan Hogwarts.
Jika Cedric masih ada, mungkin dia sedang memelukku saat ini seperti aku memeluk nisannya sampai matahari terbenam. Jika Cedric masih ada, dia pasti tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Jika Cedric masih ada, dia pasti membisikan kata-kata yang membuatku merasa aman. Melindungiku, menghabiskan waktu denganku, mengelus puncak kepalaku. Ced, aku merindukanmu. Jika saja, jika Cedric masih ada...
Ayah, aku rindu Cedric. Sangat amat merindukannya. Aku rindu setiap sentuhannya, semua omelannya, seringai jahilnya. Ayah, aku rindu Cedric. Ayah, di mana kau? Kenapa semua orang meninggalkanku? Ayah…
“Safera?” suara seseorang sayup-sayup terdengar. “Safe…”
Aku mengerjapkan mataku. Aku kesulitan menggerakan tubuhku. Ah, mungkin aku sudah membeku sekarang.
“Fred! George! She is here!” raung suara itu lagi, terdengar jauh.
Fred?
Aku masih berusaha mengerjapkan mata saat seseorang menarikku untuk duduk lebih tegak, menyandarkan tubuhku ke tubuhnya, melepaskan sarung tangan kiriku dan menyentuh cincin di jari kelingking.
“ini dia.” Katanya pada yang lain kemudian mendekatkan tangan kiriku ke wajahnya yang hangat. “Dawns…” panggilnya di depan wajahku. Hembusan napasnya yang hangat menerpa wajahku membuatku berusaha mengerjapkan mata kembali. “hey, hey…” Fred menepuk pelan pipku. “Do you hear me, Love?”
Aku membasahi kerongkonganku yang beku, bergumam pelan untuk memjawabnya.
“kita harus pergi.” Sahut suara lainnya. “seseorang pasti mendekat saat mendengar kita berteriak tadi.”
Fred mengangguk, memasukan kembali tangan kiriku ke dalam sarung tangan dan mengengkatku di dalam gendongannya kemudian aku meraksakan kami berputar cepat, di detik berikutnya, aku merasakan hembusan dingin lainnya.
“aku akan membuat api unggun.” Usul salah seorang.
Aku kembali mengerjap dalam gendongan Fred hingga ia mendudukanku di bawah pohon dengan akar besar merayap di tanah yang tertutup salju.
“Are you alright?” tanya Fred lembut. Aku mengangguk untuk menjawabnya. “kau aman sekaran, Dawns.” Katanya menenangkan.
“aku punya tenda.” Kataku, namun suara yang keluar hanya gumaman bagai angina.
Fred mendekatkan tubuhnya. “Apa?”
“aku punya tenda.” Gumamku lagi.
“What?!” Fred segera melihat pergelangan tangan kanan dan kiriku. “tanda apa?”
“TENT (tenda)…” kataku tidak sabar. “NOT SIGN (tanda).”
Fred terkekeh pelan. “You got me a heart attack.”
Aku mengabaikannya dan mengeluarkan tenda dari dalam tas.
“Kau luar biasa, Dawns.” Katanya, mencium puncak kepalaku dan merebut tenda dari tanganku.
“jangan membuat api unggun.” Kataku pada Fred, suaraku sudah kembali setelah penjelasan tenda dan tanda.
Fred melihatku bingung. “tapi kita butuh sesuatu untuk membuat kita tetap hangat.”
“aku punya sesuatu itu.”
Fred tersenyum padaku. Satu hal yang aku sesali di makam Cedric tadi, aku tidak bilang pada Cedric bahwa aku juga merindukan Fred.
“Boys, kita tidak memerlukan kayu bakar.” Jelas Fred pada teman-temannya. “Dawndusk punya sesuatu yang berguna lainnya. George dan aku akan mendirikan tenda, dan kau, Lee, buat perlindungan.”
Aku berusaha berdiri, membantu Lee Jordan membuat mantera perlindungan. Setidaknya aku harus bergerak untuk menghangatkan diriku sendiri.
“kau banyak berpetualang, Safera?” tanya Lee, saat titik mantera kami bersatu.
“Yeah, sedikit.” Jawabku sambil mengangkat bahu.
“si kembar hebat,” katanya. “mereka mencuri dari Pelahap Maut kemarin.”
“bagai…”
“karena itu Pelahap Maut menejar kami tanpa ampun.”
Aku mengangguk mengerti.
“sebelas.” Ucap Lee membuatku melihatnya bingung. “sebelas kali kami ke Blackdown untuk mencarimu. Fred bersih keras akan menemukanmu di sana.”
“Well, dia tidak salah.”
“aku senang kami menemukanmu.”
“Thanks.” Mantera pelindung sudah kami selesaikan.
“karena kami akan menerobos rumah Malfoy jika tidak menemukanmu malam ini.”
Terjadi jeda beberapa detik diantara kami sebelum aku dan Lee tertawa.
“kau bercanda?” kataku kemudian.
“aku tidak bercanda.” Suara Fred terdengar di belakang kami. “aku akan melakukan apapun untuk menemukanmu, Dawns.” Fred merangkulkan tangannya di bahuku. “Ayo, kau tidak perlu melakukan apapun dengan tiga laki-laki dewasa di sampingmu.” Katanya lagi menarikku masuk ke dalam tenda diikuti dengan Lee di belakang kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH
Fiksi PenggemarAncaman. Itulah yang dapat mendeskripsikan tahun ini. Siapa yang akan mengira Kau-Tahu-Siapa akhirnya kembali berkuasa setelah tujuh belas tahun menghilang? Tidak, dia bahkan tidak menghilang. Dia hanya bersembunyi selama tujuh belas tahun terakhir...