61 - Explanation

5.5K 908 45
                                    

REJECT ME BY GALEXIA

Instagram : @gaalexiaa dan @hf.creations

***

"Karena hidup Gea terlalu sempurna. Dan Mora nggak suka." 

"Sempurna?"

"Hm." 

"Emangnya ada orang yang punya kehidupan bener-bener sempurna?" gumam Shena tak yakin.

Tatapan Arga menerawang ke depan, seperti menimang-nimang sesuatu. Tak ada orang lain di jalanan komplek ini selain dirinya dan Shena. "Mungkin enggak.  Aku yakin bahwa orang paling bahagia pun pasti punya kesedihan yang nggak pernah mereka tunjukin ke orang lain. Tapi sayangnya Mora nggak berpikir demikian."

Ucapan Arga berhenti sampai di situ. Dia membiarkan keheningan menyelimuti setelahnya. Memberikan Shena waktu untuk menerka-nerka bagaimana kisah selanjutnya.

Dan benar saja pikiran Shena langsung berkelana. Dia setuju dengan apa yang dibilang Arga. Bahwa orang paling bahagia pun pasti juga pernah sedih, tapi kita aja yang nggak tau dan hanya melihat dari luar. Bahwa orang yang memiliki segalanya pun juga pasti pernah kehilangan hal paling berharga dalam hidup mereka.

"Dulu Gea pengen banget jadi atlet lari. Dia terlihat paling bahagia waktu ada di lintasan lari. Dia merasa bebas, lepas. " Shena menoleh ketika Arga kembali melanjutkan ceritanya. "Dulu Gea juga pernah sekolah formal tau. Dia bahkan milih nggak satu sekolah sama aku karena SMA yang dia pilih saat itu memang terkenal prestasinya di bidang olahraga. Mora sama Gea satu sekolahan waktu itu. Mereka juga sama-sama ada di satu klub lari."

"Apa sejak awal hubungan mereka nggak baik?"

Arga menggelengkan kepala. "Biasa aja. Hubungan mereka Cuma kayak senior junior pada umumnya."

"Terus apa yang bikin mereka jadi kayak sekarang? Aku lihat kayaknya Gea trauma banget pas ketemu Mora. Emang separah itu ya?"

"Parah. Aku aja tiap inget kadang masih suka gak percaya, aku nggak paham sama pola pikir Mora kenapa dia bisa sampai setega itu."

Shena melempar tatapan simpati. Arga di hadapannya sekarang benar-benar membuatnya sadar kalau ikatan antara adik dan kakak bisa sampai sekuat itu. Kekesalan yang sebelum ini sempat Shena rasakan akibat Arga memarahinya menguap begitu saja. Shena bisa memahami cowok itu dalam beberapa hal. 

"Walau masih kelas sepuluh, dulu Gea udah sering banget ikut lomba sana-sini. Tiap bulannya, medali yang tergantung di kamar Gea makin banyak. Bahkan pelatihnya bilang, kalo kemampuan Gea makin meningkat setiap waktunya, besar kemungkinan dia bisa masuk tim nasional dalam waktu dekat." Ada kebanggaan yang tersirat di mata Arga saat mengatakan kalimat itu. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena selanjutnya yang dapat Shena lihat hanyalah kesedihan yang menyelimuti mata cowok itu.

"Tapi kebahagiaan itu nggak berlangsung lama. Karena datangnya satu orang yang nggak terima dengan pencapaian Gea. Orang itu pikir, Gea Cuma murid baru, nggak sepantasnya dia memenangkan berbagai perlombaan apalagi sampai masuk tim nasional."

"Dan orang itu adalah Mora?" tebak Shena yang sama sekali tak meleset. "Jadi alasan Mora bully Gea adalah karena dia cemburu sama pencapaian Gea?"

"Bukan Cuma itu aja."

"Ada lagi?" Tanpa sadar suara Shena meninggi.

"Kamu kenal Alta?" 

"Alta? Kak Alta? Temen kamu itu? Tunangannya Mora?" tanya Shena bertubi-tubi.

Kepala Arga bergerak naik turun, memberi jawaban bahwa apa yang keluar dari bibir Shena bukan hanya pertanyaan melainkan pernyataan yang benar.

"Hubungan aku sama dia nggak terlalu baik," kata Arga. 

Ada beberapa lipatan tipis di dahi Shena, menandakan bahwa dia sedikit bingung dengan arah pembicaraan. Bukankah mereka sedang membahas Gea dan Mora? Apakah ucapan Arga barusan masih ada hubungannya dengan topic yang tengah mereka bahas? Meskipun ragu, Shena tetap merespon. "Kenapa gitu?"

"Karena dia tetap berhubungan sama Gea sekalipun dia udah punya calon tunangan yang dipilihin orang tuanya."

"Wait. Jangan bilang calon tunangan yang dimaksud itu—"

"Yap,  Mora."

Shena memegang kepalanya yang mendadak pening. Hidupnya yang teramat sangat monoton itu kesulitan mencerna kisah hidup orang lain yang rumit seperti benang kusut. Setelah dia ingat-ingat, konflik yang dialami tokoh cerita yang ia buat pun nggak sampai serumit ini. 

"Semuanya makin kacau setelah itu. Pas Mora tau kalau ternyata Gea dan Alta saling kenal bahkan punya hubungan, dia marah besar. Mora beranggapan kalau Gea udah renggut semua hal yang seharusnya jadi miliknya. Pertama, lari. Kedua, Alta. Padahal Gea sendiri juga nggak tau menau tentang rencana pertunangan Mora dan  Alta."

"Apa yang udah dilakuin Mora ke Gea?"

"Banyak. Pada dasarnya dia udah melukai Gea secara fisik dan mental. Tapi ada satu yang paling parah."

"Apa?"

"Mora sengaja nabrak Gea pakai mobil di depan gerbang sekolah malam hari setelah mereka selesai latihan."

"Kak—" Tenggorokan Shena tercekat. Ini benar-benar jauh di luar dugannya. Napasnya bahkan berhenti untuk beberapa saat. Dia benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana rasanya ada di posisi Gea saat itu.

"Akibatnya Gea koma satu minggu. Kepalanya terbentur aspal. Lebih dari itu, kakinya cedera parah. Dan pas sadar dia harus nerima kenyataan bahwa impiannya buat jadi atlet lari dan masuk tim nasional direnggut dalam satu malam."

Tubuh Shena benar-benar lemas sekarang.  Itu adalah cerita paling tragis yang pernah ia dengar. Dan entah sejak kapan, pipinya sudah basah oleh air mata.

"Dan kamu tau Shen, kenapa aku bisa sampai sekacau ini? Kenapa aku semarah itu sama kamu tanpa dengerin penjelasan kamu terlebih dahulu?" Shena menggenggam erat tangan  Arga yang kini dipenuhi oleh keringat dingin. Dari pantulan cahaya lampu di tepi jalan, Shena dapat melihat bahwa mata Arga juga berkaca-kaca. "Karena aku juga marah sama diri aku sendiri. Aku terlalu marah sama diri aku sendiri sampai aku butuh orang lain sebagai pelampiasan. Aku terlalu marah sama diri aku sendiri karena aku juga jadi penyebab Gea kehilangan segala mimpi yang udah dia susun baik-baik."

Shena menggeleng keras-keras. "Enggak, Kak Arga nggak salah apa-apa."

Helaan napas Arga terdengar berat, nyaris kesulitan. "Enggak, Shen. Andai aja waktu itu aku jadi seorang kakak yang becus jagain adiknya, Gea pasti nggak bakal kayak sekarang. Andai aja waktu itu aku jemput dia tepat waktu, Gea pasti nggak bakal kecelakaan dan bisa masuk tim nasional. Andai aja waktu itu aku milih buat nggak asyik nongkrong sama temen-temenku, medali di kamar Gea pasti udah bertambah banyak. Andai aja—"

Arga tak sempat meneruskan perkataannya. Karena dalam waktu kurang dari satu detik, wajahnya sudah sepenuhnya terbenam di pundak Shena. Gadis itu menariknya ke dalam sebuah pelukan paling menenangkan. "Kak Arga nggak salah. Percaya sama aku, ini semua bukan salah kamu."

Shena melingkarkan kedua tangannya di sekitar tubuh Arga. Menepuk-nepuk pundak cowok itu, menyalurkan ketenangan. Dan di detik selanjutnya, tangisan Arga pecah. Dia ingin sekali mempercayai perkataan Shena. Tapi rasanya sulit. Lebih mudah baginya untuk menyalahkan diri sendiri.

****

#FROMHFCREATIONS





   


REJECT METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang