74 - No Good In Goodbye

5.4K 643 40
                                    

      "Maaa, kaus kaki Shena di mana?" Dari dapur Sania bisa mendengar teriakan Shena yang membahana.

    "Di tempat biasanya lah, di mana lagi emang?"

"Di laci? Nggak ada Ma!" Di kamarnya Shena mondar-mandir tidak jelas. Mencari sepasang kaus kakinya yang entah raib ke mana. Bolak balik mengecek kolong-kolong tersembunyi, barangkali barang yang ia cari ada di sana. 

Suara jarum jam yang terus berdenting membuat Shena makin panik. Jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh. Dia bisa telat ke sekolah mengingat perjalanan dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu setengah jam.

"Laci yang sebelah kanan lemari, paling bawah sendiri. Orang biasanya di situ kok!" Sania tetap memberi arahan dengan tangan yang sibuk menata sarapan di meja makan. 

"Nggak ada Maaa," balas Shena hampir menyerah. Sania bisa membayangkan wajah putus asa Shena meski tidak melihatnya dengan langsung. 

Shena berkacak pinggang, berdiri di tengah-tengah ruangan. Kepalanya berputar menyisir seluruh ruangan. Matanya menyipit. Melihat baik-baik apakah ada tempat yang ia lewatkan. Shena hanya punya dua pasang kaus kaki putih panjang. Satu pasang sudah teronggok di keranjang cucian kotor. Satu pasang lagi yang seharusnya ia gunakan sekarang malah hilang. Selain itu dia hanya punya kaus kaki berwarna.

"Ya udah Sayang beli lagi aja, keburu telat loh kamu. Kasian ini Arga udah nunggu dari tadi," omel sang Mama dari lantai dasar. Shena sampai lupa kalau Arga sudah datang untuk menjemputnya.

"Itu aja aku baru beli Ma, baru aku pakai sekali," gerutu Shena sambil keluar kamar.

Sania menghela napas, tersenyum tak enak pada Arga yang tengah duduk manis di ruang makan menunggu putri semata wayangnya sejak lima belas menit yang lalu. "Ya terus sekarang kamu maunya gimana?"

Tak terdengar sahutan lagi dari Shena.

"Maafin Shena ya Arga, kamu jadi nunggu lama. Anaknya emang suka teledor."

Arga tersenyum sopan. "Gapapa kok Tante. Udah biasa."

Yang Arga katakan bukan sekedar omong kosong belaka. Semenjak berpacaran dengan Shena, Arga jadi mengetahui kebiasaan Shena yang suka teledor. Cewek itu sering melupakan banyak hal, termasuk di mana ia meletakkan barang-barangnya sendiri.

Akibatnya Arga lah yang harus dengan sabar mengingatkan ini itu. Funfact, setiap keluar Arga selalu membawa tas berukuran besar. Barang bawaannya selalu lebih banyak daripada Shena. Ini karena dia selalu membawa barang-barang Shena untuk berjaga-jaga kalau saja cewek itu kelupaan. Contoh sederhananya seperti sunscreen, lip balm, parfum, sisir rambut bahkan pembalut. 

"Kok mau kamu sama dia, sampe heran loh Tante." 

Arga terkekeh pelan mendengar hal itu. "Peletnya ampuh Tante."

"Aku bisa denger loh," celetuk Shena yang sudah mencapai anak tangga terakhir. Kakinya ia ayunkan menuju ruang makan yang letaknya tak jauh dari tangga. 

Kepala Arga tertunduk melihat kaki Shena yang ternyata terlapisi kaus kaki berwarna hitam. "Sementara pakai itu aja dulu nanti aku beliin di kopsis," ujar Arga menghibur.

Bibir Shena masih tetap tertekuk. Urusan kaus kaki itu benar-benar membuat moodnya rusak pagi ini. Mamanya menyodorkan segelas susu yang kemudian di teguk Shena sampai tandas. 

"Sarapannya makan aja di jalan, keburu telat beneran loh nanti." Sania menyerahkan dua kotak bekal yang tadi ia siapkan. "Yang satu buat Arga ya. Dihabisin loh."

"Eh?" Arga sedikit terkejut. "Makasih banyak loh Tan. Nanti pasti dihabisin kok."

"Harus itu," tukas Sania diakhiri tawa kecil.

Setelah berpamitan keduanya langsung bergegas menuju mobil Arga, tak mau membuang waktu lebih lama lagi. Saat Shena tengah memasang sabuk pengaman, Arga tiba-tiba mengacak poninya pelan, membuatnya sedikit berantakan. "Cieee yang udah baikan sama Mamanya. Aura emak dan anaknya udah bener-bener kerasa nih."

Shena tersenyum malu-malu. "Serius?"  

Arga mengangguk sungguh-sungguh. "Gitu dong akur. Ikut seneng aku lihatnya," ucapnya penuh ketulusan.

Shena menyenggol bahu Arga pelan. "Kak Arga sama Kak Alta juga buruan akur dong. Biar aku juga seneng lihatnya."

Sedetik kemudian Arga langsung memutar pandangan ke depan. Pura-pura tidak mendengar apa yang di katakan Shena barusan. 

"Tuh kan pura-pura gak denger," ucap Shena kesal karena diabaikan. Ternyata cewek itu sadar dengan gelagat Arga yang sengaja menghindari topic pembicaraan tersebut.

"Apaan sih? Orang aku biasa aja juga," dusta Arga  lantas segera menyalakan mesin mobil untuk kemudian melajukannya. "Mending sekarang kamu sarapan sambil sekalian suapin aku. Laper nih belom sarapan juga."

***

  Karena sudah kelas dua belas dan masa ujian sudah selesai sebenarnya Arga tidak diwajibkan untuk datang ke sekolah. Tapi karena ia adalah salah satu panitia prom night jadi hari ini mau tidak mau ia harus hadir karena ada meeting terkait persiapan acara yang rencananya akan dilakukan beberapa hari setelah wisuda.

Setelah meeting panitia prom night selesai Arga kembali ke kelas. Dia berjalan menuju bangkunya. Matanya menangkap sosok Bian dan Clovis yang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Matanya mengernyit mendapati bangku sebelah Clovis masih kosong sejak pagi. 

"Gak masuk?" tanya Arga setelah duduk di bangkunya.

"Alta?" tanya Bian memastikan.

Arga bergumam pelan.

"Nggak. Katanya mau ngurus berkas apa gitu gue lupa. Dia kan lusa udah berangkat ke negeri orang."

Clovis meletakkan ponsel di atas meja. Wajahnya berubah murung. "Alta beneran nggak bakal ikut wisuda sama prom? Atau paling nggak wisuda aja deh, momen penting nan sakral loh itu."

"Logikanya aja kita wisuda masih dua minggu lagi, sedangkan Alta lusa udah berangkat." Bian menjawab.

"Siapa tau dia bakal bolak-balik gitu. Sedih banget masa kita wisuda cuma bertiga?"

"Anak seangkatan lo anggep apa?" tanya Arga malas.

Decakan keras keluar dari mulut Clovis. "Maksudnya yang satu circle ini loh!" katanya penuh penekanan.

"Ga." Suasana langsung berubah serius saat Bian tiba-tiba memanggil namanya.

Arga meneliti tatapan tak biasa Bian sebelum memutuskan menjawab panggilan cowok itu.  "Kenapa?"

"Gea tau?"

"Apaan?"

"Tentang kepergian Alta."

Arga menghela napas berat. Selalu ada beban berat yang tiba-tiba dilimpahkan padanya setiap kali membahas apapun yang berhubungan dengan Alta, Gea dan apapun hal yang ada di antara keduanya.

"Nggak penting juga buat Gea untuk tau."

"Biarin dia tau, Ga. Penting atau enggaknya biar Gea yang nentuin sendiri." Bian memulai sesi ceramahnya. "Hubungan mereka emang nggak bisa dibilang baik setelah kecelakaan hari itu. Tapi gue yakin mereka masih sama-sama ada rasa. Kata gue lo nggak usah jadi penghalang."

Dahi Arga mengernyit tak suka mendengar kalimat terakhir Bian. "Penghalang? Penghalang lo bilang? Ya, gue emang penghalang. Gue menghalangi adek gue sendiri dari luka untuk kedua kalinya. Gue cuma nggak mau dia ngerasain sakit yang sama lagi Bi."

"Lo pikir dengan nggak ngasih tau Gea tentang kepergian Alta dia nggak bakal sakit hati? Seenggaknya kasih mereka kesempatan buat bener-bener nyelesaiin semuanya Ga. Pikir baik-baik omongan gue."

REJECT METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang