Tres

480 33 15
                                    


"Sudah makan?" Pria itu mengangguk kecil sembari mengusung senyum tipis.

"Atau perlu ku buatkan minum?" Tanya wanita itu lagi, seolah khawatir jika sang pria belum mengisi perutnya.

"Tidak perlu, aku harus segera pergi setelah ini. Mungkin kalau pulangnya cepat aku akan kembali mampir." Ujarnya menambahkan saat mengetahui raut kecewa diwajah itu.

Terdengar helaan napas pasrah. "Baiklah. Tapi kabari jika pekerjaannya sudah selesai."

Anggukan kepala menyetujui permintaan sang wanita yang terlihat begitu manja kepada si pria.

"Dimana dia?" Pria tersebut menyapu pandang ruang tamu.

"Hahaha, anjir! Perut gue kelabangan!" Tawa menggelegar menarik atensi mereka.

Kening detektif Damar bertaut bingung tapi lain halnya dengan Dewi. Wajahnya seketika memerah murka, sebab suara itu berasal dari arah ruang kerjanya. Padahal terpampang jelas di depan pintu masuknya bahwa siapapun tidak boleh menginjakkan kaki ke dalam sana, tempat yang dilabelkan sebagai "pintu neraka" olehnya. Dengan lancang keponakan sialannya itu memasuki area terlarang tersebut tanpa takut konsekuensinya. Toh, siapa juga yang mampu mengatur anak keras kepala itu.

Brakkk

Detektif Damar tercengang ditempatnya, ia bahkan tak sanggup berkomentar kala Dewi dengan segala kekuatannya menendang pintu ruangannya hingga menimbulkan bunyi cukup keras.
Terlihat wajah tengil dari dalam menyambut mereka serta kaki jenjang yang diangkat tinggi berselonjor di atas meja dengan tidak sopan.

"Keluar sekarang!" Usir Dewi menunjuk pintu keluar.

Seakan tidak terusik ia malah memasang muka kampret, pura-pura kebingungan.

"Hey, what's up bro and sis! Ada apa seh gerangan?" Kelakarnya alay.

Dewi melayangkan tatapan menusuk pada keponakan kurang ajarnya itu. "Bara_"

"Sudah makan?" Potongnya dengan menirukan suara sang Tante saat mengobrol bersama detektif Damar lengkap dengan mode julid nan mencibir.

Dewi nampak terkejut akan hal tersebut namun sebisa mungkin ia bersikap biasa-biasa saja, padahal dalam hati ingin sekali menyumpal mulut ember keponakannya satu itu. Malu? Tentu saja. Apalagi ekspresi wajah cowok itu benar-benar menyebalkan sekali.

Wanita itu memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. Jalan aman daripada omongan Bara makin tidak karuan. Bisa-bisa semua aibnya dibocorkan oleh anak itu.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Dewi.

"Duduk," timpal cowok itu enteng seraya menyuapkan camilan ke mulutnya.

"Maksud saya, ngapain kamu masuk ke ruangan ini. Apa tidak ada tempat lain di rumah ini, hah?" Kepalang greget, Dewi jadi melupakan imagenya di hadapan detektif Damar.

"Suka-suka pantat gue lah," acuh Bara tak peduli dengan amarah sang Tante.

Dewi tidak bisa menahan diri untuk tidak murka kali ini. "Erghhh," geramnya. "ka_"

"Kita harus berangkat sekarang." Detektif Damar menginterupsi sekaligus menengahi perdebatan tak berarti itu. Dia melirik Dewi yang kini tengah memalingkan muka karena sebal, kemudian melanjutkan ucapannya kepada Bara.

"Saya sudah mengurus perizinan serta meminta jadwal pada ketua yayasan Rumah Sakit Jiwa peluk kasih. Hari ini kita akan menyelidiki TKP sekaligus wawancara untuk menyamakan pengakuan saksi pertama." Ucap detektif Damar.

"Wait," hap, Bara berhasil menyambar makanan yang dilemparkannya ke atas dan tepat masuk ke dalam mulutnya. "Hitung mundur dari sepuluh," lanjutnya.

Tristis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang