Hari berkabung

633 41 13
                                        


"Pakai ini,"

Bara menyambar uluran tangan detektif Damar tanpa protes. Sepasang sarung tangan beserta masker. Dipakainya barang itu kecuali maskernya, karena katanya benda tersebut hanya akan menutupi pesona kegantengannya. Padahal siapa juga yang akan mengagumi keindahan pahatan patung bernyawa itu disini, diantara pria-pria yang tengah sibuk memeriksa TKP. Lagipula mereka pastilah masih normal untuk melakukan hal itu, meskipun tahu kalau anak yang usianya cukup belia dibandingkan dengan orang-orang disana itu memang tampan.

Tapi detektif Damar tak mempermasalahkannya, sebab masker tersebut digunakan hanya untuk jaga-jaga dari banyaknya debu yang tertinggal di bekas kebakaran, tempat yang tidak pernah dibersihkan. Sebagai antisipasi agar tidak menyebabkan sesak napas, bersin, atau lebih parah bisa pingsan akibat terlalu banyak menghirup udara kotor berdebu. Lain halnya dengan sarung tangan yang memang wajib dipakai pada setiap olah TKP, guna meminimalisir kemungkinan rusaknya bukti-bukti di sana dan melindungi sidik jari pada benda-benda tertentu.

Semuanya mulai bekerja sesuai instruksi detektif Damar. Investigasi dimulai dari mengamati apapun barang yang bersisa, kotoran yang menempel, sampai inci debu pun akan diukur. Seorang satpam terlihat mengawasi jalannya proses penyelidikan, ini sebagaimana yang dikatakan detektif Damar bahwa salah satu dari yayasan harus andil di sana agar tidak menimbulkan fitnah yang tidak diinginkan.

"Semuanya melayat ke rumah suster Hanna ya, pak?" Tanya detektif Damar masih sibuk dengan peralatannya.

"Oh, tidak. Hanya beberapa saja, itupun sahabat terdekat suster Hanna dan ketua yayasan untuk perwakilan. Sisanya bertugas menjaga pasien lain." Jawab Satpam yang menemani proses penyelidikan TKP.

"Berapa jumlah korban kebakarannya?" Ucap Bara tanpa melihat pada lawan bicara karena sibuk memperhatikan benda unik dihadapannya.

"Seluruhnya ada lima orang, termasuk suster Nessia yang menghilang itu." Seorang anggota polisi menanggapinya.

Seketika senyum misterius terbit disudut bibir cowok itu. "Who's them?" Lanjutnya bertanya.

"Pasien kamar ini, suster Nessia, seorang petugas kebersihan, seorang satpam, dan satu lagi, suster atas nama Deya." Jabarnya membaca hasil laporan sementara terkait para korban.

"Cewek semua kecuali satpam?"

"Betul."

Bara nampak manggut-manggut paham, sunggingan diwajahnya juga makin lebar. Entah apa yang membuatnya menjadi senang sehingga berekspresi seperti itu. Tapi hal seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh bagi detektif Damar, lain halnya untuk satpam yang sedang bersama mereka. Dia memandang curiga akan keberadaan seorang remaja itu disini, dan lagi raut yang ditampakkannya sangat mencurigakan. Satpam itu pikir Bara adalah anak aneh.

"Bawa lukisan ini." Titahnya pada anggota tim penyelidik, dan sudah pasti akan dituruti.

Detektif Damar melihat sekilas pada benda yang ditunjuk oleh anak itu sebelum akhirnya memilih tetap pada porsinya. Karena jika ia mencaritahu sekarang tidaklah mudah, otaknya tak sanggup menyamakan pola pikir Bara. Bukan kepintarannya, akan tetapi kegilaannya. Untuk itu ia memutuskan prosedur tetap dalam batas normal alias masuk nalar dan logika, karena jika mengikuti alur Bara pasti beresiko tinggi. Biarlah anak itu menemukan jalannya sendiri, lagipula arah mereka sangatlah berlawanan. Jika detektif Damar mengungkap misteri kecelakaan yang tampak, maka Bara dari sisi gelapnya.

Saat detektif Damar sibuk menelusuri ranjang pasien yang setengahnya telah hangus terbakar, anggota lainnya juga membantu mengamankan barang-barang yang tersisa tanpa merusak apapun. Sementara satpam yang menemani mereka terlihat membantu detektif Damar dengan memberikan informasi terkait pertanyaan yang dilontarkannya mengenai kronologi sebelum kejadian.

Tristis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang