Terpaksa

617 36 12
                                    


"Maaf,"

Gadis itu membuang napas panjang, melirik sekilas pada Leya yang terlihat begitu menyesal akan perbuatannya. Ia meletakkan kapas yang sudah diolesi dengan alkohol bekasnya membersihkan luka Valleya yang terkena getah buah mirip apel tadi ke atas nampan kecil.

Begitulah Bella, meskipun tahu kalau dirinya nyaris celaka karena Leya tapi dia masih bersedia membantu gadis itu dengan merawat lukanya. Inilah yang membuat Leya semakin dirundung penyesalan. Tidak seharusnya dia melakukan tindakan buruk seperti itu kepada temannya yang sangat baik padanya.

"Kamu juga benci sama aku kayak yang lainnya?" Lirihnya sendu.

Leya menggeleng cepat. "Aku nggak pernah benci sama kamu, Bel." Tampik nya.

Bella menatap raut sahabatnya tersebut dengan sedikit kasihan. Sejujurnya ia juga tidak tahu harus berkomentar apa-apa karena selama ini juga sudah terbiasa mendapatkan perlakuan tak mengenakkan di sekolah. Tapi kali ini rasanya lebih menusuk bagi gadis itu sebab pelakunya adalah teman baiknya sendiri. Dan yang membuat mirisnya ialah karena citra temannya itu terkenal sangat ramah. Mustahil baginya mempercayai kenyataan pahit tersebut.

Bella tertunduk dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Bisa kamu jelasin soal buah itu?" Pintanya meskipun dengan hati yang terluka.

Leya terpaku. Ruang UKS yang sepi membuat obrolan mereka terdengar jelas. Tapi bukan itu masalahnya, melainkan kalimat Bella barusan. Apa yang harus Leya katakan sedangkan dia sendiri ketakutan karena merasa diawasi saat ini. Dilema pelik mengharuskannya memilih antara teman dan keluarga. Bagaimana cara dia memberitahukan apa yang dialaminya beberapa hari terakhir.

"Leya, kamu kenapa?"

Bella semakin mendekatkan diri saat Leya tiba-tiba berlinang air mata, menangis tertunduk. Dia meletakkan tangannya di atas pundak temannya itu, berupaya untuk memberikan ketenangan.

"Aku harus apa? Aku terpaksa melakukan itu, Bel," ungkap Leya disela-sela tangisnya.

"Siapa yang maksa kamu?" Tanyanya pelan, penuh dengan kesabaran.

Bella bahkan tidak langsung memojokkan Leya walaupun tahu bahwa semuanya adalah ulah gadis itu. Dengan penuh kelembutan ia menanyai Leya, tak serta-merta menyudutkannya apalagi memarahinya. Ia hanya ingin mendengar penjelasan Leya karena Bella sendiri masih yakin kalau Leya tidak mungkin melakukan hal tersebut meskipun bukti nyata dan pengakuan sudah dia dengar langsung dari Leya. Entah terbuat dari apa hati Bella sehingga anak itu masih bisa berprasangka baik kepada orang yang menzolimi nya.

Leya memusatkan atensinya pada temannya itu. Ia menggeleng lemah. "Aku juga nggak tahu. Tapi_" suaranya mulai parau. "Papaku udah dua hari nggak pulang, terus ada yang ngancem aku dan nyuruh aku ngasih buah itu karena kalau tidak, papa ku_" tangisnya terdengar pilu. Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya lagi.

Terkejut, tentu saja. Bella bahkan tidak bisa berkata-kata. Apa maksudnya? Kenapa ini berkaitan sama Bella padahal ia tidak mengenal siapapun atau bahkan menyakiti orang tersebut.

"Aku nggak punya siapa-siapa lagi disini kecuali papa." Ungkap Leya menyampaikan keluh kesahnya.

"Tapi kenapa harus aku?" Lirih Bella tak mengerti.

Tangis Leya semakin tak terbendung, dan ia mulai sesenggukan. "Maafin aku, Bel, aku juga nggak tahu apa-apa." Cicitnya merasa bersalah.

Bella bergeming ditempatnya, pikirannya tak karuan. Sejenak ia memalingkan wajahnya dan mengusap air mata yang tanpa disadari ikut meluruh. Bagaimana bisa Leya melakukan ini kepadanya padahal selama ini ia kira hanya Leya lah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Terus siapa juga orang yang menghasut Leya hingga gadis itu tega berbuat keji dan berniat mencelakai Bella.

Tristis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang