effugere

388 29 6
                                    


"LEPASKAN SAyaaaa..........!"

Suara teriakan perlahan berubah menjadi samar-samar. Menyadari hal itu, Detektif Damar yang mulanya berbincang serius dengan komandan Beno, detektif Manur, serta dokter Wijaya, lantas menghentikan ucapannya. Tak hanya itu, dia juga memberikan isyarat agar semua yang ada di sana menutup mulutnya, diam.

"Ada apa, pak Damar?" Tanya detektif Manur akhirnya, setelah cukup lama mereka hanya terdiam diliputi penasaran.

Mereka bertiga semakin melayangkan tatapan kebingungan satu sama lain karena detektif Damar sekali lagi menyuruh diam dengan meletakkan telunjuknya di bibir.

"Dia masih berteriak, tapi mengapa rasanya volume suara tersebut terdengar semakin mengecil," Gumam detektif Damar.

"Maksud anda Violence?" Komandan Beno memastikan.

Detektif Damar mengangguk singkat. "Iya. Apa dia baik-baik saja?"

"Pasti Violence hanya kelelahan, pak, karena sedari kemarin dia terus mengeluarkan suara teriakan dan menjerit minta dilepaskan. Tidak perlu khawatir." komandan Beno mencoba berpikir positif untuk menenangkan situasi. Toh, tidak mungkin juga Violence kenapa-kenapa karena penjagaannya sangat ketat dan pemeriksaan pun rutin dilakukan 30 menit sekali.

"Berapa orang yang mengawasinya?"

"Dua orang untuk tiga jam sekali, sebab dibuat shift." Ujar komandan Beno lagi.

Detektif Damar terdiam beberapa saat. Pikirannya mendadak tidak tenang, seperti ada sesuatu yang ditakutkan akan terjadi.

"Memangnya di mana anda menahannya? Ruangan sebelah mana?" Dokter Wijaya bersuara karena ikut khawatir dibuatnya.

"Tidak jauh dari sini. Ruangan yang pastinya aman." Jawab komandan Beno.

Berarti, seharusnya teriakan Violence masih bisa mereka dengar dengan jelas, kalau memang dia kehabisan tenaga pun harusnya lirih atau deru napas kelelahan yang terdengar. Semalam pun sebelum tertidur, Violence sempat-sempatnya merintih seakan tidak menyerah memohon agar dibebaskan. Tapi kali ini terasa janggal, karena tidak ada lagi suara teriakan ataupun gesekan kecil semacamnya. Setelah sayup-sayup tersebut keadaan pun menjadi hening seketika.

Mereka terus memperhatikan dengan seksama, berharap akan mendengarkan jeritan wanita itu lagi untuk memastikan dan menepis kekhawatiran yang tercipta. Namun nihil. Yang terdengar hanya suara orang disekitar ruangan mereka, juga derap langkah dari staf yang berlalu lalang di sana.

"Itu bukan suara lirih karena kelelahan." Atensi terfokus pada detektif Manur, menunggu kelanjutan ucapannya. "Violence diam bukan karena kehabisan pita suara tapi jaraknya memang seolah menjauh." Lanjutnya memaparkan persepsi yang dia tangkap.

Penjelasan tersebut langsung membuat mereka terkejut. Apa yang terjadi dengan wanita itu? Apakah dia kabur?

"Kita periksa sekarang!" Ujar detektif Damar beranjak dari tempatnya.

Keempat orang tersebut pun bergegas menuju ruangan di mana Violence ditahan. Jaraknya hanya terpisah oleh dua ruangan dari tempat mereka tadi.  Konsentrasi mereka yang sedang mempersiapkan semua peralatan untuk memeriksa kejiwaan Violence harus tertunda karena suatu hal yang tidak terduga.

Diluar ruangan detektif Damar, sudah ada beberapa asisten dokter Wijaya yang sedang menunggu panggilan tugas, ditemani beberapa aparat kepolisian juga. Mereka sama-sama terkejut melihat detektif Damar, dokter Wijaya, komandan Beno, serta detektif Manur, keluar dari sana dengan terburu-buru.

"Ada apa, komandan?" Anggota komandan Beno segera mengejar mereka karena penasaran.

"Ajak Gunawan, periksa area dibelakang sana!" Tunjuk komandan Beno ke arah yang dimaksud sembari berusaha memberikan instruksi.

Tristis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang