untuk sahabatku

439 31 17
                                    

Duarrrr....

Gadis itu terperanjat dari lamunannya. Bunyi petir serta kilatannya menambah riuh suasana hati Bella yang masih berduka. Diraihnya benda pipih yang berada di atas nakas samping ranjangnya dan ia bawa kedalam dekapan hangat, seakan ingin melindungi besi tak bernyawa itu dari ranjau malam berselimut badai.

"Kamu lagi apa di sana, Leya? Hujannya deras banget. Nanti kamu bisa kedinginan," racaunya khawatir, menatap nyalang keluar jendela yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka.

Tubuhnya meringkuk diatas kasur bersandar pada bantalan ranjang sembari memeluk ponsel milik sahabatnya. Hujan deras disertai petir tak membuatnya gentar untuk menutup gorden jendelanya.  Malahan ia berharap kalau arwah Leya akan menemuinya disaat seperti ini, padahal hal konyol semacam itu mustahil terjadi.

"Masih belum tidur juga?" Entah kapan pintu kamar tersebut dibuka, Bella bahkan tidak mendengar suara deritnya. Tiba-tiba saja Tante Violence sudah ada di ambang pintu dan berjalan mendekati gadis itu.

Terlihat raut sembab Bella meski tak lagi menangis yang tentunya disadari oleh wanita paruh baya itu. Violence lantas memeluknya dari samping, membawa kepala Bella untuk bersandar nyaman pada pundaknya. Dia paham bagaimana perasaan gadis itu saat ini, dan Violence ingin memberikan ketenangan untuknya.

"Aku kangen sama Leya, Tan," lirih gadis itu.

"Tante tahu ini berat buat kamu, tapi kamu harus ikhlas dengan apa yang terjadi. Leya pasti sudah bahagia di sana, bertemu dengan ibunya."

Terlihat Bella menautkan kedua alisnya melayangkan tatapan bertanya kepada Tante Violence. "Tante tahu darimana kalau ibunya Leya sudah meninggal?"

Violence terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia menarik sudut bibirnya, tersenyum dengan tenangnya. "Papanya Leya, Damian itukan koleganya Tante. Rekan bisnis." Jawabnya singkat.

Gadis itu membuang napas berat, bagaimana ia bisa lupa akan hal itu. Siapapun tahu keluarga Leya cukup terpandang dan papanya adalah pebisnis hebat. Dia pun sering mendengar nama papa dari sang sahabat itu disebutkan dalam siaran televisi yang tak sengaja ia lihat ketika bekerja dulu. Orang seperti Tante Violence juga pastinya update terus tentang berbagai macam berita dunia, lain halnya dengan dirinya yang serba tak tahu ini. Cupu!

"Apa ini?" Bella mengikuti arah pandang Tante Vio. "Handphone baru, ya? Pasti dari uang tabungan, benarkan?" Terka Vio.

Gadis itu menggeleng singkat. "Bukan, Tan." Tampiknya. "Ini ponselnya Leya." Jelasnya.

"Hah, Kenapa bisa sama kamu?" Selidik nya tidak mengerti.

"Om Damian yang ngasih ke aku. Katanya ini permintaan Leya, jadi mau nggak mau aku harus nyimpen ini." Ungkapnya menatap ponsel itu seraya tersenyum tipis.

Violence menampilkan ekspresi yang tak terbaca. Entah kenapa kini semua atensinya tertuju penuh pada benda itu, seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin sekali merebutnya dari Bella.

"Coba dibuka handphonenya, siapa tahu ada pesan yang ingin disampaikan oleh Leya untuk kamu." Pinta Tante Vio dengan lembut tanpa kesan memaksa.

"Tapi, Tan_ aku nggak tahu cara bukanya," Bella menundukkan wajahnya, merasa bodoh. Sungguh memalukan baginya di zaman modern ini tidak bisa menyesuaikan diri terkait perkembangan teknologi. Jangankan memainkan, tombol caps lock saja dia tidak tahu yang mana.

Violence tersenyum gemas, begitu polos anak dihadapannya ini. "Sini, biar Tante bantuin."

Begitu antusias, Bella menyerahkan ponsel tersebut kepada Tante Vio. Dengan teliti ia mengamati jari jempol wanita paruh baya itu, membawanya pada layar yang menyala. Dimana halaman utama langsung terpampang jelas gambar Bella dan Leya yang menjadi wallpaper nya. Senyum getir membuat perasaan Bella kembali terguncang. Ia ingat kalau foto itu mereka ambil ketika ospek di hari ke-dua, yang mana menjadi awal dari pertemanan mereka.

Tristis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang