Siapa anak itu?

556 32 23
                                    


"Baru pulang, Bel?"

Gadis itu mengangguk kecil tak lupa dengan senyuman ramahnya. "Iya, mas," timpalnya sangat sopan.

Pria tersebut ikut menarik sudut bibirnya untuk tersenyum, kemudian melirik tas yang Bella pegang. "Mau dibantuin?" Tawarnya begitu perhatian seperti biasanya.

"Nggak_"

"Barangnya udah Tante bawa masuk. Tasnya mau Tante anterin juga sekalian?" Violence yang baru selesai mengantarkan barang-barang untuk keponakannya kembali bertanya, menyela percakapan dua orang di sana.

"Bisa kok, tan. Lagian enteng kok," Bella memperlihatkan tas punggungnya yang ia tenteng dengan satu tangan.

Violence mengangguk mengiyakan. Kini tatapannya beralih penasaran pada seorang pria yang tadinya berbincang dengan Bella.

"Siapa dia, sweetie?" Tanya wanita itu.

"Ini mas Alvin namanya, Tan. Tetangga yang sering bantuin Bella disini." Tuturnya.

Alvin mengusung senyum ramahnya menyapa Violence. Wanita itu juga balik mengusung senyum di bibirnya tak kalah ramah.

"Ya udah, Tante tinggal pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa telpon Tante aja, ya?" Pamitnya langsung.

"Terimakasih, tan."

Dari balik kemudi, Violence memperhatikan interaksi mas Alvin terhadap Bella. Senyum sinisnya tiba-tiba muncul. Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria tersebut dan nampaknya tengah berusaha ingin menyampaikannya kepada Bella. Sorot matanya begitu memuja, pria itu tidak hanya sekedar baik akan tetapi dibalik itu semua ada rasa yang tidak terselesaikan.

Sebuah ide picik terlintas dalam benak Violence. Senyum sinis tersebut berangsur menjadi tatapan datar dan penuh ambisi. Cepat atau lambat si kambing hitam haruslah mati.

______

"Apa itu?'

"Catatan kriminal tuan Adira." Jelas komandan Beno. Lelaki itu mengambil posisi duduk dihadapan detektif Damar yang terhalang sebuah meja kerjanya.

Detektif Damar meraih lalu membuka map tersebut yang berisikan rekam jejak atau catatan kriminal dari tuan Adira, yakni orang tua dari Violence dan Viola.

"Dia pernah didakwa atas kasus tabrak lari hingga menewaskan korbannya." Komandan Beno menjabarkan.

"Mengapa disini tidak dijelaskan masa tahanannya?" Tanya detektif Damar, tangannya membolak-balikkan halaman mencari yang dimaksudkan karena mungkin dia yang salah telah melewatkan bagian tersebut.

"Kasusnya memang tidak diperpanjang, pak. Karena keluarga korban mencabut tuntutannya atas tuan Adira, memilih berdamai dan menganggap itu sebuah kecelakaan." Jawab komandan kepolisian daerah tersebut.

"Berdamai?" Detektif Damar menaikkan sebelah alisnya.

Komandan Beno terkekeh kecil. "Dengan uang kompensasi. Biasalah, orang jaman dulu lebih suka yang pasti dan siapa juga yang mampu menolak uang didepan mata." Jelasnya menggeleng miris mengingat hal tersebut.

Detektif Damar membuang napas pasrah, tak bisa dipungkiri bahwa hal menyedihkan tersebut pernah terjadi di negaranya. Nyawa seakan tidak lebih berharga dibandingkan harta. Masyarakat dulu yang bodoh dan mau-mau saja menerima saran dari pihak tak bertanggungjawab.

Keadilan kala itu hanya dipandang sebelah mata dan polosnya masyarakat manggut-manggut setuju bak hewan peliharaan. Orang-orang berpangkat dengan mudahnya memanfaatkan ketidaktahuan tersebut demi mencari keuntungan juga terbebas dari hukum. Semuanya mengandalkan uang. Sangat menyedihkan.

Tristis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang