"Kalau lo tau gue depresi, gimana?"
"Gue temenin. Gue bantuin lo sampai lo sembuh. Gue bakalan jadi obat buat lo-"Ada jeda setelahnya. Dimana sepasang mata tajam Julian menyipit membaca name tag pada seragam gadis di hadapannya. "Marsha Ilona."
****...
Pembaca yang baik adalah mereka yang tau caranya menghargai karya orang lain.
Happy reading<3
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
2 Tahun sebelumnya...
PRANG!
SREEEEETT!
Bunyi kibasan senjata tak dapat terhindarkan. Di bawah awan mendung yang menaungi kawasan ramai, hanya membutuhkan waktu beberapa detik yang lalu sampai akhirnya seragam putih abu-abu menutupi sebagian jalan.
"Sini maju lu kalau berani!"
"Yahh cepu lu cepu!"
"Anak Mami lu? Nggak usah ikut tawuran kalau gitu!"
Dibalas sahutan kemudian.
"Santai dong, Bang santai!"
Pekikkan-pekikkan lantang serta bunyi nyaring dari benda tajam yang ditabrakkan itu terdengar bersahut-sahutan. Dua kubu yang saling bersinggungan terus menyerang. Atmosfer daerah Tugu Wates yang menghubungkan pertigaan jalan berubah jadi mencekam.
Berawal dari ketidaksengajaan segerombolan anak SMA Pandawa yang manaiki motor besar mereka menuju arah pulang bertemu dengan kawanan SMA Taruna Nusantara yang menjadi musuh para leluhur mereka sejak lama sedang nongkrong di sebuah persimpangan jalan kota.
Seperti tumpukan jerami yang terpantik percikan api, Taruna Nusantara mencegat sebagian besar siswa Pandawa dengan makian yang berhasil memicu emosi diantara dua kubu. Mereka serentak turun dari motor dan menyebar ke segala sudut.
"Tot! Jultot! Majuin, majuin!"
Jultot atau Julian bontot adalah sebutan untuk lelaki tinggi dengan dua kancing seragam sekolah terbuka serta headband hitam bergambar tengkorak di atas kepala.
Setelah menerima perintah besar dari Gama—orang yang berperan besar menjadi tangan kanannya, Julian sang komandan meninggalkan musuh yang kini ditangani Sam untuk kemudian melangkah lebar ikut mem-backingi Gentala dan satu temannya—Rainer Hastanta.
Praktis ketiga temannya menepi memberinya jalan. Dengan sebuah pisau lipat yang dikeluarkan dari balik saku celana, Julian berjalan pongah setelah celurit dengan noda darah di lemparkannya begitu saja. Benda itu di diputarkannya di udara membuat nyali musuh seakan menciut dan langsung menelan saliva susah payah.
"Mana bos besar lo? Beraninya memperbudak anak buah." Lantas Julian berdecih bahkan tak segan meludah penuh meremehkan. "Sini kalau nyalinya gede hadapin gue one by one!"
Beberapa musuh dengan tampang-tampang beringas di depan mulai menggeram. Mereka membawa seperangkat senjata tajam yang siap kapan saja ditorehkan. Julian berdecak panjang. "Oh jadi si jancuk itu nggak mau turun di tengah jalan? Busyeeeed mental Jelly aja banyak gaya amat sih?"