"Kalau lo tau gue depresi, gimana?"
"Gue temenin. Gue bantuin lo sampai lo sembuh. Gue bakalan jadi obat buat lo-"Ada jeda setelahnya. Dimana sepasang mata tajam Julian menyipit membaca name tag pada seragam gadis di hadapannya. "Marsha Ilona."
****...
Pembaca yang baik adalah mereka yang tau caranya menghargai karya orang lain.
Happy reading<3
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"MARSHA! GENTALA!"
Dengan begitu saja, markas yang semula bising diisi teriakan melengking mendadak hening. Julian berdiri dengan deru napas memburu di antara para anggota yang membisu.
Lelaki itu mengarahkan pandangannya pada Marsha yang meliriknya takut-takut lewat ekor mata. Lalu beralih pada Gentala yang membuang mukanya ke sembarang arah.
"Apalagi masalahnya?" Julian melontarkan tanya dengan tangan terkepal.
Terlihat jika dia masih sedikit sabar.
"GUE TANYA APA MASALAHNYA?!"
Sentakan tiba-tiba yang masuk ke dalam telinga itu membuat semua orang tersentak seketika. Tak terkecuali Marsha dan Gentala.
Sebetulnya, mereka paham jika Julian—ketua mereka sudah amat sangat lelah jika harus berurusan lagi dengan keributan seperti ini. Ia harus kembali jadi penengah. Menjadi pemaham untuk dua orang yang sama-sama keras kepala. Untuk itu Gama turut menghela napas berat pada Gentala dan Marsha pencipta keributan yang tak sudah-sudah.
"Kenapa harus berantem lagi?" tanya Julian dengan nada penuh intimidasi. "Kenapa? Nggak di markas, nggak di sekolah." Kali ini disertai dengan gelengan kepala.
Tidak habis pikir.
Benar-benar tidak habis pikir pada seorang lelaki tempramen seperti Gentala dan gadis keras kepala seperti Marsha, bukannya menjawab keduanya malah kompak berbalik arah.
Marsha meluruskan lebih dulu pandangannya pada Julian hanya untuk menatapnya nyalang karena merasa tak dibela, untuk kemudian gadis itu dengan cepat berjalan menaiki tangga.
Arsenal terkekeh-kekeh melihat sikapnya. "Bukan maen, calon ibu ketua kita."
Sementara itu, Gentala yang masih menyimpan dendam untuk gadis yang membuat wajahnya basah kuyup mendesis hendak mengikuti Marsha sebelum ditahan Abrisam. "Udah, Gen."
Gentala memandang Abrisam tajam. Mengarahkan pandangan pada Julian sekilas lalu menyambar jaketnya di sofa dan berlalu begitu saja ke belakang.
Dua orang yang seakan menggantikan kehebohan Arsenal dan Rainer itu akhirnya meninggalkan mereka bersama keheningan yang kembali menerpa. Julian memijat pangkal hidungnya sesaat.
"Duduk dulu."
Julian mengangkat wajah dan mengangguk atas perintah Abrisam. "Ar, lo suruh Milan kesini buat obatin Gentala."
Namun meski kesal, Julian tetap mengkhawatirkan kawannya yang babak belur itu. Biasanya, Gentala akan terus sendirian setelah ini tapi mungkin saja jika Milan—gadis bar-bar yang mengobatinya Gentala akan meluluh.