OS [S2] : Setelah Kamu

1K 88 9
                                    

Dua bulan lalu, Jeno baru saja melepaskan genggaman tangan sosok sang tercinta dengan terpaksa. Semuanya dipaksa, dipaksa oleh keadaan yang ternyata telah banyak andil membuat dirinya menjadi pria brengsek yang melukai hati kekasihnya tanpa dia ketahui.

Muak, itulah mungkin hal yang kekasihnya rasakan. Tujuh tahun hidup dalam sebuah hubungan bersama dirinya yang awalnya manis sampai makin lama terasa makin tak sehat.

Jeno mengaku dia bodoh, sangat bodoh jika dia terus memaksa Renjun menerima dirinya kembali. Jeno rasa Renjun sudah pada batasnya, tujuh tahun waktu yang sangat lama untuk Renjun habiskan dengan dirinya. Dengan manusia tolol yang ternyata tak sebaik itu dalam menghargai dirinya.

Awalnya Jeno tidak merasa hal besar bahkan setelah Renjun melepaskan dengan paksa genggamannya, masih tetap terasa sama meski tak bisa dipungkiri jika ada sebagian darinya yang merasa kosong.

Hingga dibulan kedua setelah Renjun memutuskannya, dia mulai merasa kekosongan itu  dengan jelas. Hatinya ternyata sehampa itu tanpa Renjun, harinya ternyata sesuram itu tanpa Renjun.

"Kalau aja aku engga jadi sosok bodoh kaya gini, mungkin kamu masih digenggamanku Ren." Jeno menatap sebuah foto yang berisi dirinya dan Renjun beberapa tahun lalu.

Tahun dimana hubungannya dengan Renjun masih terasa manis, tahun dimana dirinya belum berubah menjadi monster yang mengerikan dan membuat hubungan asmaranya menjadi tidak sehat dan toxic.

"Ternyata aku brengsek banget ya Ren? Terus maksa kamu buat selalu liat aku bahkan ngga bolehin kamu sedikitpun buat lirik yang lainnya. Terus ngelarang kamu buat ketemu sama orang-orang, ngelarang kamu buat main sama temenmu, bahkan aku sering ngasih kamu hukuman kalo kamu langgar perintahku."

"Kamu benar, aku udah kaya monster sekarang. Aku bukan lagi Lee Jeno yang dulu. Aku bukan lagi Lee Jenonya kamu, a-aku--"

Jeno tak menyelesaikan ucapannya, mulutnya dibiarkan terbuka dengan tenggorokan yang terasa seperti tercekik. Sejenak Jeno terdiam dengan uraian air mata yang mulai merambat membasahi pipinya.

"R-ren."

"Aku kangen."

Jarinya meremat karpet dibawahnya dengan erat, berusaha menyalurkan kesakitan yang dia rasa dihatinya. Hatinya seperti dipukul kemudian digerogoti hingga dia merasa begitu kacau.

Rahangnya mengeras, meski matanya tetap menyayu menandakan kesedihan yang tengah melimpa dirinya. Dipukulnya berkali-kali dada bidangnya, Jeno sakit, Jeno sesak. Tapi tidak ada lagi yang mau membantu, tidak ada lagi Renjun yang selalu menjadi tempatnya berlari, tidak ada lagi Renjun yang selalu menjadi tempat pertamanya untuk dia datangi. Renjun-nya sudah pergi dan kini Jeno kelimpungan sendiri.

"Ren t-tolong." Napas Jeno kacau, berat dan terputus-putus.

Jeno sudah pasrah jika hari ini dia akan berakhir, dia rasanya lebih baik mati dari pada hidup tanpa seorangpun disisinya.

Ingatan buruknya lambat laun mulai muncul kepermukaan. Ayahnya yang mencampakkan dan meninggalkan ibunya demi wanita lain dan membuat ibunya setres dan gila sendiri. Kakaknya yang malah kabur membawa uang yang ibunya simpan bersama dengan pacarnya. Ibunya gila, dia mengamuk hingga terus memukul Jeno kecil, membuat badan ringkihnya babak belur hingga hampir meregang nyawa.

Namun sebelum itu Jeno berhasil kabur, dia berlari dari rumahnya dengan kencang. Menghindari amukan ibunya yang semakin jauh dia berlari tak lagi dia dengar teriakannya. Hingga dia berhenti disebuah panti asuhan yang sangat jauh dari rumahnya. Jeno hidup disana, tapi tak ada yang mau berteman dengannya, Jeno lagi-lagi sendirian meski ibu panti sesekali menghampirinya.

Sejak awal Jeno rasa dia memang tidak tercipta untuk hidup bersama orang lain, dia selalu sendiri dan terus ditinggalkan. Jeno benci sendirian, Jeno juga benci ketika diabaikan, Jeno benci menjadi manusia yang tak dilihat. Jeno benci dirinya sendiri.

OS || NOREN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang