Gavril menatap layar ponselnya untuk yang kesekian kalinya. Dia memastikan apakah benar istrinya tak membalas pesannya atau sinyal di tempat Gavril yang buruk. Tapi ternyata istrinya memang tak membalas pesannya, entah kemana perempuan itu sampai dua jam sudah berlalu Azzura masih belum membalas pesannya."Pak? Ada yang perlu di rubah?" tanya salah satu bawahan Gavril.
"Gak ada, sesuai rancangan awal. Kalau ada yang berani mengubahnya tanpa persetujuan ataupun pengetahuan saya. Hadapkan sama saya langsung!" Ujar Gavril tak terbantahkan. Lagipula, siapa juga yang berani membantah ucapan Gavril selaku boss besar mereka.
"Kita tutup meeting kali ini, saya mau istirahat dulu. Selamat bekerja dan selamat siang."
Gavril berdiri dari duduknya dan berjalan keluar cafe kecil yang ada di sebuah desa. Dia memutar kepalanya ke kanan dan kiri untuk meringankan rasa lelahnya, tapi tetap saja tak berefek apapun.
"Al, kamu hubungi Bachtiar suruh dia datang ke rumah. Pastikan Azzura dan Melisya baik-baik saja. Dari tadi Zura tak membalas pesan saya."
"Baik, Pak." Sahut Aldi sembari mengambil ponselnya dari saku celana. Dia mencari nomor Bachtiar dan menelponnya segera.
"Halo? Ada apa, Aldi?"
"Bapak minta Pak Bachtiar ke rumah untuk memastikan Bu Zura dan Non Meli baik-baik saja." Aldi menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar Bachtiar mengumpat sangat kencang.
"Gue mau bicara sama Gavril,"
"Pak," Aldi menyerahkan ponselnya ke arah Gavril.
Lelaki yang berdiri di depan rumah satu lantai itu menoleh dan menaikan sebelah alisnya. Aldi mengangguk pelan sebelum kembali menggoyangkan ponselnya di depan Gavril.
"Apa?"
"Bajingan kalau lo gak rela ninggalin bini lo bawa, Bangsat! Gue mulu perasaan yang jadi korban." Teriaknya murka.
Gavril berdecih pelan sembari menatap layar ponsel Aldi. Dia menggeleng pelan dan menekan layarnya untuk mematikan sambungan telepon. Bachtiar memang sasaran yang sangat empuk untuk di manfaatkan saat dia jauh dari Azzura. Sebenarnya dia bisa saja bertanya langsung pada Fiko, tapi di sisi lain dia juga enggan kalau harus di goda istrinya karena terlalu gampang merindu.
"Kalau Bachtiar telepon lagi, gak usah angkat. Kalaupun kamu sudah tak tahan bilang suruh telepon saya langsung." Ujar Gavril sebelum memasuki kamarnya.
Rumah sederhana yang anak buahnya sewa untuk tempat tinggal Gavril selama mengawasi masa pembangunan awal pabrik tehnya yang baru. Saat awal pembangunan memang Gavril biasa turun tangan sendiri, dulu dia memiliki satu orang kepercayaan yang mengawasi pembangunan pabrik baru. Tapi manusia memang tempatnya tamak dan kurang puas dengan apa yang dia capai, kepercayaan Gavril di rusak dalam beberapa jam saja. Padahal dia bekerja dengan Gavril sudah lebih dari enam Tahun.
"Sepertinyanya istri saya memiliki daya tarik yang sangat kuat," gumam Gavril memandang layar ponselnya yang menampilkan wajah cantik istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Mas Suami. (End)
RomanceKisah perjalanan rumah tangga Gavril Azzura yang tak pernah berjalan mulus. Dimana dendam masih membara, sakit hati belum sembuh betul, rasa cemburu dan merasa diduakan dengan orang yang sudah tiada, perjuangan Azzura untuk menutup telinga dari ucap...