Part 41

26.1K 2.2K 308
                                    


Langkah kaki yang terus berlari dilorong rumah sakit membuat beberapa orang yang berada disana menoleh. Wajah terlihat sangat memerah dengan air mata terus mengalir serta sesenggukan terdengar sangat jelas membuat mereka berpikir, mungkin kerabatnya ada yang meninggal ataupun sedang kritis.

Azzura terus berlari dengan tangan kiri menarik pergelengan tangan Melisya agar tak tertinggal. Melati, Gilbert dan Lerga berlari mengikuti Azzura dari belakang. Setelah mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Gavril mereka segera menuju rumah sakit. Tak peduli bagaimana penampilan mereka pagi ini, mereka langsung pergi menemui Gavril.

Sampai, langkah kaki Azzura terhenti melihat Bachtiar, Edward dan Tio mendorong sebuah ranjang khas rumah sakit dengan seseorang berada diatasnya. Kondisi tertutup kain putih dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat hati Azzura terasa seperti diremas. Melisya segera berlari melihat para om'nya mendorong ranjang yang kemungkinan berisi Daddynya.

"Daddy, jangan tinggalin Meli. Meli minta maaf kalau nakal. Daddy jangan tinggalin Meli." Teriak Melisya kencang, dia menangis histeris disamping Edward.

Azzura berjalan perlahan melihat pemandangan didepannya, kakinya terasa begitu lemas. Dadanya bergemuruh menahan sesak dan rasa tak menyangka. Kenapa secepat itu Tuhan memisahkan mereka, padahal pernikahan mereka baru mau masuk tiga Tahun.

"Mas Gavril!" Azzura menangis sembari memeluk tubuh lelaki yang tertutup kain putih itu. Melati berdiri disebelah kiri dengan air mata terus mengalir, kenapa Tuhan mudah sekali mengambil anak-anaknya.

Dulu Firzi pergi dengan cara yang sangat mengenaskan, sekarang Gavril juga apakah akan pergi dengan cara yang seperti itu. Meningalkan mereka semua secepat itu. Sedangkan Gilbert hanya bisa mengusap punggung istrinya. Rasa menyesal sudah menghajar anaknya beberapa waktu lalu terus berputar diotak Gilbert. Andai saja, andai saja itu semua tak terjadi.

"Zura..." Edward menarik tubuh Azzura lumayan kuat, namun perempuan muda itu sama sekali tak beranjak dari posisinya memeluk tubuh kaku suaminya.

"Maafin Mama, Vril. Maaf udah jahat sama kamu." Gumam Melati sangat pelan.

"Jangan tinggalin Zura, Mas. Zura sama siapa kalau Mas Gavril juga pergi." Teriak Azzura semakin histeris.

"Zura?" Panggilan pelan dari seseorang  membuat perempuan muda itu mematung, tubuhnya terasa tak bisa digerakan sama sekali. Apakah dia menghayal mendengar suara suaminya? Apakah dia mulai gila?

"Baby," panggilan kedua membuat Azzura menegakkan tubuhnya, dia menoleh menatap kebelakang. Dia baru sadar kalau itu bukan suara dari seseorang yang dia peluk.

Penampakan seorang lelaki dengan luka didahi yang sudah diperban, tangan kanan diperban juga apalagi tangan kirinya memegang tongkat kruk untuk menyangga tubuhnya. Mata Azzura berkedip beberapa kali untuk memastikan apakah penglihatannya salah atau tidak, Melati dan Gilbert juga melakukan hal yang sama. Mengusap kedua matanya untuk mencerahkan indra penglihatannya.

Senyum manis lelaki itu membuat Azzura menelan ludahnya susah payah, kini dia beralih pada lelaki yang terbaring dengan penutup kain putih diseluruh tubuhnya. Menatap bergantian dengan sosok yang seperti Gavril di depannya.

"Daddy masih hidup?" Tanya Melisya yang sedari tadi hanya diam saja.

"Masih, Sayang." Sahut Gavril di iringi senyum manis. Melisya segera berlari kearah Gavril dan memeluk kakinya sangat erat.

"Meli takut Daddy pergi,"

"Daddy gak akan pergi, udah jangan nangis anak cantiknya Daddy." Tangan kanan Gavril yang tak tertutup perban mengusap pipi anaknya yang basah akan air mata.

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang