Pada malam hari, semua orang berkumpul ditaman belakang villa dengan pemandangan bibir pantai yang cukup indah. Dulu, Gavril memang pernah berkata saat masih berpacaran dengan Azzura. Suatu saat nanti akan menemani Melisya bermain bunga api dihotel ataupun ditempat lain dan Melisya akan bermain bunga api bersama adiknya. Karena sekarang Melisya sudah memiliki adik, jadi Gavril mewujudkan hal sangat sepele tapi cukup berkesan itu.
Dan saat ini, Gavril sedang memangku anaknya yang menatap kakaknya bermain bunga api. Matanya terbuka cukup lebar, tangannya mencengkram ibu jari Gavril cukup kencang. Azzura yang ada disebelah suaminya hanya bisa menatap Devnath dengan alis terangkat sebelah. Apakah anaknya itu takut dengan bunga api? Kalau iya, sungguh memalukan. Wajahnya saja terlihat garang sering ngamuk tapi dengan bunga apa saja takut.
"Main sana sama Kakak," tukas Azzura untuk yang kesekian kalinya. Tapi Devnath tetap kukuh pada pendiriannya yaitu menggelengkan kepala.
Gavril yang awalnya fokus pada Melisya dan Afrin kini menunduk untuk melihat wajah Devnath. Ekspresi anaknya terlihat cukup tegang, matanya terbuka lebar sedangkan bibirnya terkatup sangat rapat. Gavril terkekeh pelan dan mulai mengajak Devnath berdiri. Kalau dibiarkan begitu sampai kapanpun Devnath akan takut pada bunga api, dan itu hal yang aneh menurut Gavril karena dari bunga api Melisya tak menimbulkan suara ataupun membuat anaknya terkejut. Hanya percikan api kecil-kecil.
"Kak minta satu, ya." Ujar Gavril mengambil bunga api anaknya. Melisya menoleh dan tersenyum lebar, dia kini ikut mendekati ayah dan adiknya.
"Lihat, ini gak apa-apa." Gavril mulai menyalakan bunga api walaupun sedikit kesulitan karena angin pantai cukup kencang. Setelah cukup lama bermain dengan korek apinya, Gavril berhasil menyalakan bunga api untuk Devnath.
"Pegang batangnya ini, jangan yang nyala-nyala ini, Dek." Gavril mengarahkan Devnath untuk memegang pegangan bunga api. Devnath masih diam saja, hanya menatap bunga api tanpa reaksi apapun.
Cukup lama membujuk Devnath dan berkata kalau tak apa, akhirnya Devnath mau mencoba memegang sendiri bunga apinya. Gavril tersenyum cukup senang akhirnya Devnath tak takut lagi. Sedangkan Afrin sudah sangat girang membawa bunga api itu berlari, Edward yang terus mengikuti kemanapun langkah kaki anaknya sampai berdecak kesal.
"Berdiri disana aja sama Devnath, Nak." Bujuk Edward untuk yang kesekian kalinya. Afrin menghentikan langkah kakinya dan berbalik mendekati Devnath yang kini mulai bisa tertawa, tak tegang seperti tadi.
"Epat atut?" (Devnath takut?) Tanya Afrin menatap Devnath sangat polos.
"Dak, Ev dak akut. Ev aget." (Gak, Dev gak takut. Dev kaget.) Azzura melirik anaknya dengan tawa pelan, ternyata bocah belum genap dua Tahun tersebut sudah bisa ngeles.
"Heh, Cafein. Devnath takut itu. Bohong dia." Goda Bachtiar menatap anak sahabatnya. Dengan cepat Devnath menoleh kearah Bachtiar tak suka, matanya melirik kesal dengan bibir mengerucut.
"Yar!" Tegur Edward masih tak terima anaknya dipanggil Cafein. Panggilan dari bayi tak pernah berubah sama sekali.
"Ev aget, dak akut. Ev dah betal dak akutan." (Dev kaget, gak takut. Dev udah besar gak takutan.)
"Apa angkutan?" Sahut Bachtiar terkekeh pelan.
"Edy, iya akal." Adu Devnath yang sudah kesal dengan Bachtiar.
"Yar, jangan godain anak gue." Tegur Gavril pelan, Bachtiar hanya mengangkat kedua tangannya tanda menyerah saat bapaknya sudah turun tangan menegur. Kalau yang menegur Azzura sudah pasti dia tak peduli dan tetap menggoda Devnath.
"Dev kalau udah besar gak boleh nangis-nangis lagi loh, ya. Udah besar kok nangis terus kayak adek Terang sama Al." Azzura menatap anaknya dan menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Mas Suami. (End)
RomanceKisah perjalanan rumah tangga Gavril Azzura yang tak pernah berjalan mulus. Dimana dendam masih membara, sakit hati belum sembuh betul, rasa cemburu dan merasa diduakan dengan orang yang sudah tiada, perjuangan Azzura untuk menutup telinga dari ucap...