Part 11

29.1K 2.4K 234
                                    


"Ma?" panggilan pelan dari perempuan muda dengan setelan baju serba biru tersebut membuat wanita paruh baya yang sedang duduk menikmati sore hari menoleh.

Bibirnya menyunggingkan senyum manis menyambut menantunya, dia sudah lama tak melihat Azzura. Lebih tepatnya setelah kejadian tak mengenakan beberapa waktu lalu. Saat dia berkumpul dengan teman arisannya dan membicarakan hal buruk tentang Azzura.

"Sini, sudah lama Mama gak ngobrol sama kamu." Melati mengambil gunting taman yang ada di sebelahnya. Azzura mengangguk pelan dan ikut bergabung dengan ibu mertuanya. Sebelumnya dia sudah izin Gavril untuk mengunjungi Melati.

"Meli ikut?"

"Hem, lagi pergi beli roti bakar sama Fiko. Kata Meli roti bakar yang ada di samping taman dekat rumah Mama juara rasanya." Kekeh Azzura pelan, Melati ikut tertawa karena sudah hafal kegemaran cucunya.

"Badan kamu kok kurusan? Sebelum menikah sepertinya tak seperti ini, Ra. Kamu diet?" tanya Melati sembari memperhatikan bentuk tubuh Azzura.

Perempuan muda itu ikut menunduk untuk melihat badannya sendiri. Dia tak merasa kalau kurusan tapi bajunya yang dulu pas sekarang sedikit longgar. Dan dia tahu akan hal itu, tapi dia tak merasa kurusan. Dia juga tak melakukan diet.

"Enggak, mungkin banyak pikiran jadi ngaruh ke berat badan, Ma."

"Kamu mikir apa? Masalah buah hati?" Azzura mengangguk dan tersenyum tipis. Melati menyadari perasaan tak enak Azzura segera menggenggam jemari lentik menantunya, mengusapnya pelan penuh kasih sayang.

"Ra, memiliki anak itu bukan sebuah perlombaan siapa yang paling cepat dia yang menang. Bukan seperti itu. Pada hakikatnya kita harus menyiapkan banyak hal sebelum benar-benar siap memiliki anak."

"Kamu harus bisa menyampingkan ego kamu sendiri, menyiapkan waktumu yang biasanya dibuat main jadi mengasuh anak, yang awalnya bisa berendam santai-santai tanpa terganggu apapun. Setelah kamu punya anak dan anak itu mengerti mana ibunya, kamu berak saja dia menangis. Kamu sedang makan dia menangis minta gendong dan tak mau di gendong siapapun selain ibunya, kamu harus menunda rasa laparmu. Banyak hal yang akan kamu tinggalkan saat mengurus anak. Jangan sampai kamu berpikir ingin kembali menjadi gadis jadi bisa melakukan semuanya sesuai keinginanmu, hal itu jangan sampai, Ra. Makanya untuk saat ini nikmati masa-masa berduamu dengan Gavril. Sebelum kamu merindukannya nanti."

"Aku siap meninggalkan kebiasaan ku, Ma. Aku sungguh ingin segera hamil." Gumam Azzura pelan, Melati tersenyum lembut dan mengangguk.

"Mama berkata demikian bukan karena Mama tak mau cucu darimu. Mama juga ingin memiliki cucu dari Gavril, anak kandungnya sendiri. Tapi, mungkin sekarang belum waktunya. Tuhan ingin melihat Gavril bahagia dan menikmati waktunya denganmu, dengan orang yang dia cintai setelah badai panjang di hidupnya. Tuhan memberi waktu kalian merasakan masa-masa Indah berdua sebelum memberi malaikat kecil di tengah-tengah kalian."

"Ra, Gavril sudah terlalu lama hidup sendiri. Merasakan patah hati sendiri, membalas dendam sendiri, sakit yang dia rasakan setiap hari sendiri, lelah bekerja sampai rumah masih mengurus Vellin yang kadang di luar kendali. Gavril sudah cukup lelah di usia mudanya. Menjadi Papa muda yang dia sendiri belum siap menjadi Papa, bahkan itu bukan anaknya. Pulang untuk menjadi saksi pernikahan adiknya tapi Tuhan menggariskan takdir yang sangat luar biasa untuknya. Menikah dengan perempuan yang tak pernah dia kenal sebelumnya, melihat wajahnya juga saat akad nikah. Terkadang Mama berpikir, apakah di masa lalu Mama dan Papa melakukan kesalahan sampai takdir anak Mama seperti ini. Memiliki dua putra yang selalu menjadi kebanggaan tapi memiliki takdir yang sangat mengenaskan. Adik meninggal di usia muda, dan Kakak yang hidup tapi seakan mati."

Melati menerawang jauh kebelakang, mengingat bagaimana indahnya kehidupan dulu saat Gavril yang kaku dan dingin selalu di jahili Firzi yang konyol dan suka bercanda. Gavril yang selalu sibuk dengan buku tugasnya dan Firzi yang selalu membujuk kakaknya untuk menemaninya bermain basket setiap sore. Mengingat bagaimana Gavril menangis histeris di atas gundukan tanah makam Firzi bersama Vellin.

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang