Gavril dan Azzura duduk berdampingan diruang keluar Allera. Acara tujuh bulanan kehamilan pertama Allera berlancar cukup lancar. Dan kini mereka semua berkumpul diruang keluarga. Dua bayi yang terlihat sangat tak akur membuat Azzura harus banyak-banyak bersabar, dia mengikuti kemanapun kaki Devnath merangkak. Mau berputar-putar sepuluh kalipun diruangan tersebut. Tempat labuhan terakhir Devnath adalah Afrin yang dipangkuan Edward."Ada bapaknya jangan dicakar," tegur Rena sinis, Edward hanya menatap sahabatnya dengan senyum miring.
Flashback ...
Edward berdiri menatap keenam perempuan yang terlihat sangat terkejut dengan kedatangannya. Apalagi yang paling terkejut diantara mereka adalah Livia. Edward yang tak sabar menunggu berjalan mendekat kearah sahabat perempuannya. Dia duduk berjongkok dengan tangan bertumpu pada lutut, Edward menatap satu persatu sahabatnya.
"Kalian gak ada yang mau jelasin?" Tanya Edward pelan, Azzura sudah mencubit paha Rena lumayan kencang membuat ibu hamil itu mendengkus kesal.
"Afrin anak lo, kenapa? Lo gak mau nerima? Banyak kali yang mau sama Livia, cuma dia udah gila, menutup hati sama mata buat lelaki lain. Yang ada diotaknya cuma cowok bajingan kayak lo. Kalau gue jadi Livia mungkin gue nikah sama duda kaya raya, anak lima juga gue jabanin asal gue bisa hidup enak setelah berjuang panjang buat cowok gila kayak lo. Masalah cinta bisa dipikir belakangan, yang penting gue dicintai, diperlakukan sangat baik. Bukannya di suruh mengemis perhatian sama pengakuan!" Jawaban Sinis Rena membuat Edward tak melepaskan pandangannya dari Afrin yang ada dipangkuan Ara.
Ara mendapat tatapan dari Edward menelan ludahnya susah payah. Dia menarik tangan Inka untuk mencari perlindungan, kemungkinan besar Inka lebih berani menantang Edward seperti Rena. Bukannya diam saja seperti dirinya.
"Lo gak mau ngakuin Afrin kalau dia anak lo? Santai, gue punya banyak kenalan yang bisa jadi bapak sambung Afrin." Imbuh Inka sembari melemparkan kacang rebus kearah Rena.
Rena tersenyum miring dan menaikan sebelah alisnya saat Edward tak bereaksi apapun. Dia hanya menatap Afrin tanpa berkedip, deru napasnya tak beratur membuat Livia mengambil Afrin dari Ara. Memeluk anaknya sangat erat dengan air mata mulai mengalir lumayan deras. Air mata Livia sukses menyadarkan Edward dari keterkejutannya.
"Cafein!" Sapa Bachtiar sembari melambaikan tangannya, Lerga yang ada disebelahnya menepuk punggung sahabatnya sangat kencang. Padahal terlihat suasana sedang tak enak. Tapi mata Bachtiar terlalu buta untuk melihat hal itu.
Edward masih fokus pada Afrin yang ada dipelukan Livia, sorot matanya sangat sulit dijelaskan. Apakah lelaki itu menyukai fakta itu atau menolaknya? Tak bisa dibaca sama sekali sorot mata Edward.
"Ward, didepan ada orang tua kamu." Ujar ibu dari Vernandi yang baru masuk rumah. Edward menoleh sejenak menatap ibu Vernandi dan mengangguk pelan, memang dia sudah cukup lama tak bertemu orang tuanya. Apalagi setelah Lila menemui orang tuanya dan menjelaskan retaknya rumah tangga Lila dengan suaminya.
"Nanti sama Papa, ya." Ujar Edward sembari mengusap kepala bagian belakang Afrin, dia berdiri dari duduknya dan menatap semua sahabatnya yang masih menatapnya dengan wajah cengo.
Azzura mencubit dirinya sendiri saat mendengar Edward menyebut dirinya sendiri dengan panggilan Papa untuk Afrin. Dia masih tak menyangka Edward akan secepat itu menerimanya, dia kira akan ada drama Edward tak mau mengakui kalau Afrin adalah anaknya. Tapi ternyata itu semua salah besar.
"Napas, Kak." Bisik Ara sebelum berdiri dan berjalan menghampiri Bachtiar yang masih berdiri diambang pintu. Livia menarik napasnya sangat panjang saat Ara sudah pergi, Edward juga sudah kedepan untuk menemui orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Mas Suami. (End)
RomanceKisah perjalanan rumah tangga Gavril Azzura yang tak pernah berjalan mulus. Dimana dendam masih membara, sakit hati belum sembuh betul, rasa cemburu dan merasa diduakan dengan orang yang sudah tiada, perjuangan Azzura untuk menutup telinga dari ucap...